JEPANG Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia. Slogan tersebut begitu terkenal di kala Perang Dunia II yang ditandai dengan invasi Negeri Matahari Terbit ke sejumlah negara Asia. Salah satu negara yang menjadi korban invasi adalah China.
Peristiwa paling kelam dalam sejarah Invasi Jepang ke China terjadi pada 13 Desember 1937. Peristiwa tersebut dikenal luas sebagai Pembantaian Nanking atau Pembantaian Nanjing. Serangkaian pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap penduduk Nanking dilakukan oleh tentara Jepang.
Nanking adalah ibu kota China pada masa itu. Tentara Jepang berhasil merebut wilayah tersebut dan memaksa pemerintah China menyingkir ke Hankow, tanah yang berada di sepanjang aliran Sungai Yangtze. Demi semakin menekan spirit perlawanan Negeri Tirai Bambu, Jenderal Matsui Iwani memerintahkan penghancuran Nanking.
Sebagian besar wilayah kota dibumihanguskan. Sayangnya, aksi tentara Jepang tidak berhenti sampai di sana. Mereka turut meluncurkan kampanye kekerasan serta kekejaman terhadap warga sipil. Tentara Jepang membantai sekira 150 ribu tawanan berjenis kelamin laki-laki, 50 ribu warga sipil berjenis kelamin laki-laki.
Kekejaman tidak hanya berhenti di situ. Pembantaian tidak hanya terjadi kepada laki-laki, tetapi juga perempuan. Tentara Jepang memperkosa sedikitnya 20 ribu orang perempuan serta gadis dari segala usia. Sebagian besar dari korban pemerkosaan itu kemudian dimutilasi atau dibunuh usai nafsunya terpuaskan.
Tidak lama setelah Perang Dunia II berakhir, Pengadilan Militer Internasional Timur Jauh menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Matsui Iwane atas dakwaan kejahatan perang. Matsui kemudian dieksekusi pada 23 Desember 1948 dengan cara digantung.
Korban selama invasi Jepang ke China tidak hanya di kalangan warga sipil Negeri Panda, tetapi juga tentara Negeri Sakura. Jepang bahkan mengabadikan nama mereka di Kuil Yasukuni yang dikhususkan bagi pihak-pihak yang dianggap berjasa bagi Kekaisaran Jepang. Tindakan tersebut memicu amarah China yang menganggap Kuil Yasukuni adalah lambang kedigdayaan tentara Jepang di masa lalu, termasuk luka menganga akibat Pembantaian Nanking.
(Wikanto Arungbudoyo)