BEKASI seperti halnya kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, serta Surabaya, sedianya kaya akan sejarah. Sayangnya peninggalan-peninggalan masa lampau perlahan mulai lenyap dimakan zaman.
Bekasi, baik Kota maupun Kabupatennya di masa silam acap jadi daerah perlawanan. Mulai dari masa revolusi 1945-1949, hingga era perlawanan lokal terhadap VOC atau Kongsi Dagang Hindia Timur.
Selain sebuah rumah Belanda di Pabayuran, Gedung Juang Tambun, Gedung Papak, serta bekas tangsi di belakang Polresta Kota Bekasi, ada satu peninggalan lainnya yang ‘ngumpet’ di pedalaman Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi.
Situs Saung Ranggon namanya. Informasi awal yang didapat penulis, rumah yang seluruhnya dibangun dengan kayu besi atau kayu ulin ini, sudah berdiri sejak sekira 400 tahun lalu.
Ada yang bilang ini sempat jadi tempat para wali, ada pula yang menceritakan ini bekas tempat pelarian keturunan Pangeran Jayakarta. Tapi dari penelusuran literatur maupun surfing di internet dari berbagai sumber, diketahui situs ini sudah berdiri dari abad ke-16.
Namun seperti kurang puas rasanya jika hanya jelajah di dunia maya. Maka berangkatlah penulis ditemani rekan penggiat sejarah Front Bekassi, Beny Rusmawan, ke sebuah kampung bernama Cikedokan di Cikarang Barat.
Lokasinya bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum, kendati cukup jauh dari jalan besar. Sayangnya karena keadaan macet menuju Cikarang, penulis tiba di lokasi saat hari sudah beranjak gelap.
Tempat Putra Pangeran Jayakarta Bersembunyi
Kendati begitu, situs ini tetap buka kok, karena memang ada ‘kuncen’ alias penjaganya yang tinggal hanya beberapa langkah dari situs Saung Ranggon. Maka ditemuilah Sri Mulyati, kuncen Saung Ranggon di sebuah warung yang juga hanya beberapa langkah dari situsnya.
Dari Sri Mulyati ini, sedikitnya bisa diketahui jejak sejarahnya. Situs ini ditemukan oleh Raden Abbas pada 1821, di mana Sri Mulyati mengaku sebagai keturunan ketujuh darinya.
Sebelumnya, situs ini dikenal sebagai “rumah” pelarian Pangeran Rangga, putra dari Pangeran Jayakarta, pasca-dikalahkan VOC pada 1619. Tak ada catatan pasti soal kapan saung ini tepatnya didirikan, hanya disebutkan berasal dari abad ke-17 setelah Pengeran Jayakarta kalah dari VOC.
Disebutkan pula, Pangeran Rangga mencari tempat yang jauh dari jangkauan VOC agar tak ditemukan. Maka didirikanlah rumah bergaya rumah panggung seluas 7,6 meter x 7,2 meter dengan tinggi bangunan sekitar 2,5 meter.
Karena waktu sudah gelap, rumah itu sudah ditutup oleh sang kuncen dan tak bisa dilihat dengan detail interiornya. Hanya disebutkan, interiornya terbuka tanpa sekat antar-ruangan, serta ada tujuh buah anak tangga di pintu utamanya.
“Karena sudah malam, sudah kita kunci. Tapi kalau mau lihat-lihat sekitar bangunannya silakan saja,” tutur Sri, sang kuncen kepada Okezone.
Meski sedikit gelap, masih nampak kesolidan kayu-kayunya yang sama sekali tak keropos termakan rayap selama empat abad. Di bagian depan situs ini juga terdapat sebuah plang, di mana informasinya situs ini berada di bawah kewenangan Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Dibudpar Provinsi Jawa Barat.
“Sebenarnya ini sih di bawahnya BCB (Bangunan Cagar Budaya) yang di Banten. Bangunannya kalau orang sini bilangnya kayu ki welang atau kayu ulin. Makanya awet. Dibuatnya enggak dipaku karena akan bengkok pakunya, makanya pakai pasak,” lanjut Sri.
Jadi Tempat Minta "Berkah"
Namun yang jadi keprihatinan tersendiri, situs ini belakangan justru jadi tempat orang “minta berkah”. Entah dengan semedi, atau apalah namanya yang berkaitan dengan hal-hal klenik.
“Sering ada yang datang untuk nginep di sini. Ada tujuannya masing-masing, seperti ya minta naik pangkat gitu. Ya kalian ngerti sendiri lah seperti apa,” tambah perempuan berusia 60 tahun itu.
Satu lagi yang memunculkan kegundahan lain soal situs ini, adalah dana pemeliharaan dari pemerintah yang sudah setahun ini tak kunjung cair. Sri mengaku tak tahu kenapa “gajinya” tak juga diberikan, setelah biasanya rutin diantarkan seorang utusan dari BCB dengan nominal Rp700 ribu per bulan.
“Biasanya kita digaji Rp700 ribu per bulan. Diantarnya biasanya tiap tiga bulan sekali. Ya lumayan buat tambahan kebutuhan hidup di sini. Tapi enggak tahu kenapa ini udah setahun enggak digaji,” keluh Sri.
“Kita kan juga bersih-bersih setiap hari di dalam dan di sekitar saung. Belum untuk biaya listrik. Saya sudah bikin 10 proposal pengajuan, tapi belum ada respons,” tandasnya.