SEJAK 2009, Indonesia gencar melancarkan lobi-lobi diplomasi untuk mencalonkan diri sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Kini, target tersebut menjadi fokus diplomasi luar negeri RI pada 2017.
Dalam pernyataan pers tahunannya, Selasa 10 Januari, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menegaskan, salah satu dari 14 fokus diplomasi luar negeri RI pada 2017 adalah mengoptimalkan dukungan bagi pencalonan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB demi berkontribusi nyata bagi perdamaian global, sesuai amanat konstitusi.
"Indonesia akan sangat menghargai dukungan negara-negara sahabat untuk pencalonan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB 2019-2020," ujar Retno di hadapan para duta besar dan perwakilan negara asing di Indonesia.
Pemilihan anggota tidak tetap DK PBB akan dilakukan pada Juni 2018. Pertimbangan utama pada pemilihan anggota tidak tetap DK PBB sendiri adalah keterlibatan dan sumbangan negara-negara anggota PBB dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta berdasarkan asas pembagian geografis yang adil.
Jika menilik poin tersebut, maka Indonesia telah memiliki fondasi amat kuat. Di dalam negeri, rakyat Indonesia tetap bisa hidup berdampingan dalam harmoni meski amat majemuk, baik dari suku bangsa, bahasa, budaya maupun agama. Secara statistik, Indonesia adalah negara berpenduduk keempat terbesar dunia, negara demokrasi terbesar ketiga dunia, dan negara berpenduduk muslim terbesar dunia.
Indonesia juga aktif menjadi inisiator Bali Democracy Forum (BDF). Bahkan di tahun kesepuluh penyelenggaraannya, berbagai negara seperti Tunisia, berminat membuka cabang BDF di negara mereka.
"Indonesia menjadi bukti bahwa Islam, demokrasi, modernitas dan penguatan perempuan dapat terjalin dalam satu harmoni," ujar Retno saat mengampanyekan Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB di sela-sela Sidang Umum PBB tahun lalu.
Menlu Retno LP Marsudi saat berkampenye menggalang dukungan untuk Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB di Sidang Umum PBB 2016. (Foto: Kemlu)
Keaktifan Indonesia dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional pun tidak perlu diragukan lagi. Indonesia termasuk sepuluh negara penyumbang terbesar bagi pasukan pemeliharaan perdamaian PBB. Jumlah perwakilan RI di luar negeri yang mencapai 132 perwakilan negara juga dapat membantu Indonesia memahami dengan baik situasi di lapangan.
Indonesia juga giat mempromosikan kemerdekaan mutlak Palestina di setiap fora internasional serta menjalankan mediasi konflik di kawasan dan global. Di saat yang sama, tidak terhitung keaktifan Indonesia menyumbangkan aspirasi dan suara pada berbagai organisasi kemitraan kawasan maupun internasional seperti Gerakan Non Blok (GNB), Organisasi Konferensi Islam (OKI), ASEAN dan lainnya.
Dalam berbagai kesempatan, Juru Bicara Kemlu Arrmanatha Nasir menegaskan, Indonesia selayaknya bisa menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB karena dari segi rapor terbilang bersih. Prestasi ini juga didukung rekam jejak yang baik selama Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB pada 1974-1975, 1995-1996 dan 2007-2008.
Meski demikian, Arrmanatha tidak menampik bahwa pencalonan keempat kali ini tak bersih dari tantangan. Ia menyebut, sedikitnya ada dua tantangan utama yang dihadapi pada kampanye pencalonan Indonesia sebagai anggota DK PBB kali ini.
Pertama, Indonesia harus mampu meyakinkan betul kontribusinya dalam menjaga perdamaian dunia. Kedua ialah munculnya negara yang baru pertama kali mendaftar menjadi anggota tidak tetap DK PBB.
"Kehadiran negara yang baru pertama kali mendaftar ini jadi tantangan tersendiri bagi Indonesia meyakinkan negara-negara lain untuk mendukung. Apalagi pengalaman kita lebih nyata. Kalaupun kita menang nanti, itu bukan karena kampanye yang baru-baru ini digalakkan, tapi didasarkan perjalanan panjang diplomasi Indonesia," ujar pria yang akrab disapa Tata itu.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai, proses diplomasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB sudah pada jalurnya. Namun, pemerintah perlu memperhitungkan betul kompensasi apa yang akan diminta negara-negara yang memberi dukungan dalam proses pemungutan suara nanti.
"Namanya politis, tentu akan ada kompensasi yang diminta negara lain. Karena itu, perhitungannya harus memerhatikan kepentingan nasional. Indonesia harus bisa meyakinkan negara lain seberapa fleksibel kita bisa menerima permintaan dan memenuhi harapan mereka," ujar Hikmahanto kepada Okezone, belum lama ini.
Hikmahanto mengingatkan, guna mendorong kans Indonesia memenangi kursi anggota tidak tetap DK PBB, maka semua pihak di dalam negeri harus mendukung penuh. Begitu juga di regional dan tingkat dunia, pemerintah harus mampu memastikan dukungan.
"Inisiator tentu Kemlu, tetapi ia tidak bisa berjalan sendirian, harus dapat dukungan semua pihak. Di regional, kita perlu mengutamakan negara-negara ASEAN. Kita harap, negara-negara ASEAN ini dapat mendukung Indonesia melalui pengaruh mereka di berbagai forum kawasan dan dunia," tegas Hikmahanto.
Menlu Retno LP Marsudi dan Menlu Slovakia Miroslav Lajcak dalam pertemuan bilateral di New York, 19 September 2016. (Foto: Dok. Kemlu)
Mengutip keterangan Jubir Kemlu Arrmanatha Nasir, negara-negara ASEAN bisa dipastikan solid dalam mendukung Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB meski tidak bisa menyebut negara apa saja yang sudah menyatakan dukungan.
"Sebab ada mekanisme tak tertulis di antara negara anggota kawasan untuk selalu saling dukung di forum internasional mana pun. Apalagi dalam kasus ini, tidak ada negara anggota ASEAN lain yang mengajukan diri sebagai DK Tak Tetap PBB pada periode 2019-2020," ujar Arrmanatha.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Teuku Rezasyah menilai, perlu dibentuk gugus tugas khusus untuk menggolkan upaya menuju kursi anggota tidak tetap DK PBB. Gugus tugas ini, ujar Reza, sebaiknya dipimpin seseorang yang dapat menggerakkan semua unit pemerintahan di dalam negeri untuk bersama-sama membangun citra Indonesia di tingkat dunia.
"Kita harus punya rencana aksi yang melibatkan semua unit kerja pemerintahan tadi. Kementerian, misalnya, bisa mendorong kans Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB melalui aktivitas di berbagai organisasi internasional yang mereka ikuti," tutur Reza.
Demikian juga pendekatan secara diplomasi luar negeri. Reza menyebut, bila perlu, pemerintah bisa menunjuk duta-duta besar luar biasa khusus di berbagai regional untuk melicinkan jalan ke DK PBB.
Dosen Hubungan Internasional di berbagai perguruan tinggi nasional itu menilai, keberhasilan Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB akan menjadi warisan istimewa bagi pemerintahan Jokowi, seperti halnya di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) silam. Tidak hanya menjadi pengakuan dunia atas kiprah Indonesia dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, status anggota tidak tetap DK PBB juga merupakan justifikasi bahwa nawacita pembangunan yang selalu didengungkan Jokowi benar-benar terealisasi.
"Beliau diharapkan bisa membawa roh nawacita itu ke luar negeri dan menjadikan Indonesia sebagai contoh keberhasilan negara berkembang," imbuhnya.
Di sisi lain, status anggota tidak tetap DK PBB akan memberikan Indonesia privilege tersendiri. Salah satunya, kata Reza, adalah hak untuk berkontribusi dalam upaya restrukturisasi di dalam tubuh PBB sendiri.
Ia mengambil contoh hak veto yang hanya dimiliki lima negara anggota tetap DK PBB yaitu Amerika Serikat, Prancis, Rusia, Inggris dan China. Menurut Reza, hak veto yang dimiliki kelima negara tersebut tidaklah merepresentasikan semua negara di dunia. Terlebih lagi, karena mayoritas budaya baratlah yang terwakili.
"Memang ada China, tapi itu pun tidak mewakili semua Asia dan budaya timur. Bagaimana dengan perwakilan budaya dan negara lain? Proses restrukturisasi PBB seperti ini yang bisa didorong Indonesia melalui keanggotaan di DK PBB, misalnya melalui lobi-lobi dengan berbagai negara anggota PBB yang seide dan menjadi mitra yang amanah," tegasnya, ketika berbincang dengan Okezone baru-baru ini.
Pendapat tersebut diamini Hikmahanto. Menurutnya, keanggotaan Indonesia di DK PBB akan memberikan porsi lebih dalam setiap upaya pengambilan keputusan.
"Di dalam DK PBB pasti akan banyak perdebatan. Jika Indonesia ada di luar, maka argumentasi kita bisa didengar, bisa juga tidak. Namun saat di dalam DK PBB, jika kita bisa meyakinkan negara-negara yang memegang hak veto, mungkin akan berhasil juga (memengaruhi)," pungkas Hikmahanto.