NADI – Pengungsi masih menjadi persoalan dunia saat ini. Ke mana pun mereka berlari, seolah ketakutan, penganiayaan dan kegelisahan selalu menyertai. Demikian juga yang dirasakan oleh Loghman Sawari, seorang pengungsi berdarah Iran yang baru saja kabur dari Papua Nugini ke Fiji.
Melarikan diri dari negaranya yang berkecamuk akibat perang, Sawari tak kunjung merasa aman di negara lain. Pergi ke Australia, remaja yang belum genap 17 tahun itu malah dimasukkan ke pusat detensi imigran dewasa di Pulau Manus, Papua Nugini.
Status imigrasinya dikabulkan dan ia sempat bebas berkeliaran di Papua Nugini. Namun tak berapa lama, dia harus menggelandang tanpa tujuan di Kota Lae. Diduga, dia juga menderita perlakuan kasar dari penjaga selama tinggal di pusat detensi setempat.
Loghman Sawari diapit petugas. (Foto: Twitter)
Mencoba bertahan hidup, Sawari pun nekat kabur ke Fiji. Bermodalkan dokumen palsu, dia menjejak di negara Oseania tersebut dan mencari pertolongan. Akan tetapi, sekali lagi kehadirannya tidak diinginkan. Dia berakhir ditangkap polisi setempat dan dideportasi ke Papua Nugini.
Dalam salah satu sambungan telefon yang Sawari buat kepada The Guardian Australia, ia menceritakan betapa penganiayaan juga terjadi selama proses pemulangannya dari Nadi ke Port Moresby. Hal yang sama telah ia wartakan kepada temannya.
“Saya berada di atas pesawat dan mereka mengirim saya balik. Mereka menahan dan memukul saya. Orang-orang berbahaya ini berusaha menyakiti saya. Tolong beri tahu semua orang,” ujarnya kepada seorang teman di Farsi melalui sambungan telefon, seperti disitat dari The Guardian, Jumat (3/2/2017).
Foto-foto yang diunggah media di Fiji menampilkan pemuda itu menangis dalam apitan dua petugas berbadan besar. Memakai kacamata, dia digiring ke pesawat.
“Dia membuat sambungan telefon singkat dari atas pesawat. Penjaga membiarkan dia menghubungi seseorang hanya sekali. Pengacaranya menjemput, lalu melakukan pertemuan dengan pihak imigrasi untuk menjelaskan statusnya sebagai pengungsi. Mereka kemudian berangkat ke Suva, ketika mobilnya dihentikan polisi. Petugas langsung menariknya keluar dan membekuknya masuk ke dalam mobil polisi,” tutur Janet Galbraith, advokat pengungsi yang berbasis di Australia.
Loghman Sawari diapit petugas. (Foto: Twitter)
Pengacara Sawari berusaha mengejar dan mendapatkan kliennya kembali, tetapi gagal. Setibanya di Bandara, anak itu sudah melewati gerbang keberangkatan. Pemuda itu mengaku dirinya menjadi sasaran pukul seorang pria Fiji.
“Pria itu bilang tidak ada yang namanya kemanusiaan di dunia ini dan saya lebih baik mati di tanah air sendiri. Dia juga mengatakan ini akan jadi akhir hidup saya, ini terakhir kali saya akan mendengar suaranya. Saat itu juga, saya tahu mereka akan membunuh saya,” ujar Sawari kepada Galbraith.
Menurut pengakuannya yang lain, Sawari awalnya merasa sangat senang bisa berada di Fiji. Dia merasa aman di negara kepulauan tersebut, dibanding sebelumnya ketika mengungsi di Papua Nugini maupun Australia.
“Selama beberapa hari pertama itu, dia sangat positif. Katanya, orang-orang Fiji itu baik dan dia merasa aman. Dia yakin bisa berkontribusi untuk mereka. Tetapi ketika kisahnya tersebar dan media menulis tentangnya, bahwa dia masuk secara ilegal, Arab dikaitkan dengan teroris, segalanya berubah jadi sulit baginya,” tambah Galbraith.
Tujuannya datang ke Fiji hanyalah meminta perlindungan dan suaka. Walaupun dia tidak langsung mengajukannya ke pemerintah sejak awal. Melainkan, mencoba peruntungan dengan bekerja di bawah arahan pengacara hak asasi manusia, Aman Ravindra-Singh dan untuk Komisi HAM dan anti-diskriminasi Fiji.
Direktur Human Right Watch Australia, Elaine Pearson menyebut pemulangan paksa Sawari dari Fiji itu jelas-jelas pelanggaran terhadap konvensi pengungsi. Kasus Sawari terus bergulir, sementara nasibnya semakin tidak jelas.