PETA alias (pasukan) Pembela Tanah Air merupakan satu dari bibit cikal bakal TNI yang ada saat ini. Pasukan ini dibentuk Jepang saat menduduki Indonesia (dulu Hindia Belanda) dengan tujuan, sebagai kekuatan cadangan seandainya sekutu masuk ke Indonesia di masa Perang Dunia II Front Pasifik.
Awalnya, PETA melalui Seinen Dojo (Barisan Pemuda) hanya menerima para pemuda pribumi yang punya darah “biru” alias bangsawan dan kerabatnya, serta pemuda-pemuda terpelajar. Namun seiring berjalannya waktu, PETA juga membuka pendidikan untuk rakyat jelata.
Dari awal pembentukannya hingga pembubarannya kala Jepang kalah dari sekutu di Front Pasifik, catatan tentang PETA banyak melahirkan tokoh-tokoh militer Indonesia yang kemudian jadi figur penting dalam perlawanan terhadap Belanda yang comeback ke Indonesia.
Sebut saja Panglima Besar Jenderal Soedirman, Jenderal (Anm) Ahmad Yani, Sarwo Edhie Wibowo, Supardjo Rustam, Sumitro, Kemal Idris, Umar Wirahadikusuma, hingga Soeharto (yang kemudian jadi Presiden kedua RI) dan tak ketinggalan Soeprijadi (EYD: Supriyadi).
Nama terakhir inilah yang menorehkan tinta sejarah yang paling diingat tentang PETA. Apalagi kalau bukan peristiwa “Pemberontakan PETA Blitar” pada 14 Februari 1945.
Motif Pemberontakan Shodancho Soeprijadi
Ada alasan tersendiri mengapa Soeprijadi yang kala itu menjabat Komandan Peleton (Danton) I Kompi III/Bantuan di Daidan PETA Blitar berpangkat Shodancho (setara letnan), memberontak bersama beberapa prajurit PETA lainnya.