Mengenang 144 Tahun Perang Aceh Melawan Belanda

Rayful Mudassir, Jurnalis
Minggu 26 Maret 2017 16:09 WIB
Pasukan Belanda saat perang melawan Aceh (sumber Wikipedia)
Share :

BANDA ACEH – Hari ini 144 tahun lalu, Belanda mengeluarkan maklumat perang terhadap Kesultanan Aceh, negeri yang berdaulat di Sumatera. Ribuan tentara dikirim. Rakyat Aceh melawan. Perang pun berlangsung hingga 31 tahun, salah satu perang terlama dalam sejarah dunia.

Jenderal Frederik Nicolass Nieuwenhuijzen murka pada Kesultanan Aceh yang tak mau tunduk kepada Belanda. Wakil Presiden Hindia Belanda itu lalu mengirim surat ajakan perundingan ke pemimpin Kerajaan Aceh Sultan Alaidin Mahmudsyah, pada 22 Maret 1873.

Jenderal Nieuwenhuijzen meminta penghentian hubungan diplomatik dengan Kesultanan Aceh dan menawarkan perundingan baru antara Aceh dengan pemerintah kolonial.

Pada 2 November 1871, Inggris pernah membuat kesepakatan dengan Kerajaan Belanda yang disebut sebagai perjanjian Sumatera. Isinya adalah Kerajaan Britania Raya tidak mengajukan keberatan atas perluasan dominasi Belanda terhadap Pulau Sumatera dan membatalkan kesepakatan awal di Perjanjian London 1824.

Kedua, perdagangan dan pelayaran Inggris atas Kesultanan Siak, Riau dapat dilakukan. Begitu pula pada semua kesultanan di Sumatera yang menjadi tanggung jawab Belanda.

Perjanjian itu melatarbelakangi nafsu besar pemerintah kolonial untuk memperluas tanah jajahannya di Sumatera. Target Belanda adalah menaklukkan Kerajaan Aceh. Padahal Belanda dan Inggris telah mengakui Aceh sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.

“Padahal Aceh sebuah kerajaan pertama yang mengakui kedaulatan Belanda saat mereka dilanda perang. Tapi justru Belanda mengingkari dan tidak mengakui kerajaan Aceh,” kata sejarawan Aceh, Husaini Ibrahim di Banda Aceh, Jumat 24 Maret 2017.

Akibat perjanjian itu, Sultan Alaidin Mahmudsyah langsung melakukan hubungan diplomatik dengan Kosulat Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Turki Usmaniyah di Singapura. Belanda pun terusik.

 

Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh (Salman Mardira/Okezone)

Setelah surat pertama ditolak, Jenderal Nieuwenhuijzen kembali mengirim utusannya untuk memberi surat kedua ke sultan Aceh. Isinya adalah luapan kekecewaan sang jenderal dan menuding Aceh tidak bersahabat dengan pihaknya. Belanda pun mengancam akan menyerang Aceh.

Sebagai pewaris darah pejuang dari sultan sebelum dirinya, Alaidin Mahmudsyah pantang tunduk ke lawan. Ia menyambut ancaman Jenderal Nieuwenhuijzen dengan mengeluarkan maklumat kepada masyarakat Aceh bersedia perang melawan Belanda.

Hubungan Aceh dan Belanda yang sudah berjalan baik sejak abad ke-16 kini memanas. Sultan Alauddin Riayat Syah lalu mengutus tiga duta besar Kerajaan Aceh yang dipimpin Tuanku Abdul Hamid untuk menjalin hubungan diplomatik lagi dengan Belanda.

Abdul Hamid bertemu Pangeran Maurits dari Kerajaan Belanda di Middelburg, Ibu Kota Provinsi Zeeland di Belanda pada Agustus 1602. Kunjungan politik itu pertama kalinya dilakukan antara Asia Tenggara dengan Eropa.

Karena cuaca yang dingin, Abdul Hamid lalu sakit dan meninggal dunia di Belanda. Jasadnya dimakamkan di pekarangan gereja, Zeeland. Pada 1940, makam itu hilang tanpa jejak akibat terjangan banjir. Belanda pun membangun prasasti untuk mengenang Duta Besar Kesultanan Aceh itu pada 1978.

Agresi Militer

Usai upaya perundingan gagal, Belanda akhirnya mengeluarkan maklumat perang terhadap Aceh, pada 26 Maret 1873. Parlemen Belanda sebenarnya menolak keras upaya agresi militer ke Aceh karena hubungan kedua negara sejak dulu cukup baik bahkan sejak Sultan Alaudin Riayat Syah memimpin Aceh pada 1589-1604 Masehi.

Belanda mengirim tiga bataliyon tempur infanteri ke Aceh. Pengerahan pasukan darat turut melibatkan 168 opsir dan 3.198 serdadu. Jumlah itu belum termasuk seratusan kuda perang, 1.000 orang yang dihukum Belanda, ratusan perempuan, hingga buruh. Angka itu masih pasukan di darat. Belum lagi empat kapal perang lengkap dengan ratusan serdadu dan peralatan tempur semacam meriam dan mortir.

Belanda mengutus seorang jenderal untuk memimpin langsung agresi pertama itu yakni Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler. Pasukan Belanda tiba di Aceh pada 8 April 1873. Perang hebat pun pecah di Pante Ceureumen, Ulee Lheu, Banda Aceh.

Pasukan Belanda lalu merengsek ke Masjid Raya Baiturrahman dan berupaya merebut masjid yang dibangun sejak masa Sultan Iskandar Muda pada abad 16 Masehi itu. Tapi, gagal. Rakyat Aceh mati-matian mempertahankannya.

Pertempuran sengit meletus di sana. Mayjen Kohler akhirnya tewas ditangan penembak jitu pasukan Aceh yang siaga di balik rawa dekat Masjid Raya Baiturrahman. Kohler tewas di bawah pohon ketapang sebelah utara Masjid Baiturrahman. Di lokasi kematiannya itu, sudah dibangun prasasti.

Kematian Kohler cukup merontokkan nyali pasukan Belanda. Jenderal Nieuwenhuijzen lalu menarik prajuritnya yang tersisa ke Batavia (sekarang Jakarta), pada 26 April 1873.

Jenazah Kohler lalu dikuburkan ke Jakarta, sebelum kerangkanya dibawa lagi ke Aceh dan dikuburkan di kompleks makam serdadu Belanda di Banda Aceh atau Kerkhof Peutjut.

Menjelang pergantian tahun, Belanda kembali melancarkan agresi kedua ke Aceh. Pasukan dikirim lebih besar dibanding agresi pertama. Setidaknya 8.500 militer dan 4.300 pekerja disertakan dalam serangan kedua mulai 20 November 1873.

Di tengah perang memanas, Sultan Alaidin Mahmud Syah mangkat akibat terkena wabah penyakit pada 26 Januari 1874. Meninggalnya Sultan Alaidin sempat membuat kursi kepemimpinan di Kesultanan Aceh kosong, karena putra sultan yakni Tuanku Muhammad Dawood Syah usianya masih sangat belia.

Belanda lantas berhasil menguasai Darul Duniya atau Istana Kesultanan Aceh dan Masjid Raya Baiturrahman yang sekompleks dengannya. Masjid Raya lalu dibakar Belanda yang membuat warga Aceh makin membenci kolonial.

Jatuhnya Darul Duniya ke Belanda membuat pusat Pemerintahan Kesultanan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar. Bahkan, Tuwanku Muhammad Dawood Syah dilantik sebagai Sultan Aceh di Masjid Raya Indrapuri. Ketika itu, Daudsyah masih bocah. Ia baru resmi memimpin Kesultanan Aceh setelah pusat kerajaan pindah ke Keumala, Pidie.

Perang pertama dan kedua sama frontalnya. Kedua pihak mengerahkan pasukan maksimal. Belanda sempat menambah 1.500 prajurit karena kuatnya kekuatan pasukan Aceh yang terus menyerukan perang sabil atau perang suci melawan kafir.

 

Kerkhof atau kuburan serdadu Belanda di Banda Aceh (Salman Mardira/Okezone)

Orientalis Belanda Snouck Horgronje dalam tulisannya mengakui bahwa semangat perang rakyat Aceh ke Belanda begitu besar karena dilandasi ajaran agama. Mereka rela mati demi membela agama dan kedaulatan tanah airnya.

Perang makin menjadi-jadi. Meski beberapa benteng pertahanan pasukan Aceh dikuasai Belanda, tapi rakyat Aceh terus melawan dengan taktik geriliya. Belanda ikut mengirim Marsose alias Korps Marechaussee te Voet, satuan militer Hindia Belanda ke Aceh. Prajurit Marsose kebanyakan adalah warga pribumi dari Pulau Jawa hingga Maluku yang diperbudak Belanda.

Meski perang sudah berlangsung berpuluh tahun, tapi Belanda belum juga mampu menguasai Aceh. Padahal, anggaran perang mereka keluarkan sangat banyak. Di dalam negerinya, Kerajaan Belanda sendiri mulai dikritik karena gagal menaklukkan Aceh sementara anggaran negara yang terkuras tak sedikit.

Pada akhirnya, Belanda pun menerapkan srategi picik. Mulai dari mengirimkan orientalis Snouck Horgronje ke Aceh. Ia lebih dulu dikirim ke Arab untuk belajar Islam lalu masuk ke Aceh, menyaru sebagai ulama. Tugasnya, melemahkan perjuangan rakyat Aceh dengan menyebarkan pemahaman-pemahaman sesat tentang Islam.

Sementara di lapangan pasukan Belanda juga menerapkan taktik tak terpuji; menculik keluarga Sultan Aceh lalu meminta Sultan Muhammad Dawood Syah berunding. Saat itu, Sultan yang bermarkas di Keumala lalu menemui perwakilan Belanda di Sigli, Pidie, pada Januari 1903.

Celakanya, saat itu Belanda langsung menahannya dan membawa Sultan ke Banda Aceh. Sultan dipaksa meneken surat penyerahan kekuasaan Aceh kepada Belanda, tapi ditolak tegas. Akhirnya, Belanda menawan Sultan Muhammad Dawood Syah di sebuah rumah di kawasan Keudah, Banda Aceh.

Di balik rumah tawanan, Sultan masih bisa memimpin perlawanan. Ia bahkan mengirim langsung surat atas nama Kesultanan Aceh ke Konsulat Jepang di Singapura, meminta Pemerintah Nippon membantu Aceh mengusir Belanda. Namun, aksi Sultan tercium pihak Belanda. Sultan pun diasingkan ke Batavia hingga meninggal dunia pada 6 Februari 1939. Sultan Muhammad Dawood dikuburkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Meski Sultan Aceh ditawan, rakyat Aceh terus memberikan perlawanan ke Belanda. “Di sejumlah wilayah di Aceh masih terus terjadi peperangan baik perseorangan maupun kelompok,” kata Husaini.

Sejarawan Aceh, Ramli A Dally, mengatakan saat itu satu per satu kerajaan di Nusantara takluk ke Belanda selama 200 tahun mereka menguasai Hindia Belanda. Tapi, Kerajaan Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak Belanda mengeluarkan maklumat perangnya terhadap Aceh pada 1873.

Pamong budaya Komunitas Peubeudoh Sejarah, Adat, dan Budaya Aceh (Peusaba) Djamal Syarief mengatakan, ketika berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda, pada 1949, Inggris menanyakan mana kawasan Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Maka, tersebutlah Aceh.

“Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” kata Djamal.

Perang Aceh salah satu perang paling lama sekaligus frontal di dunia. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Vol I, Perang Aceh menelan banyak sekali biaya dan nyawa. Di pihak Aceh, empat persen penduduknya atau 70.000 orang meninggal. Dari kubu Belanda sedikitnya 35.000 serdadunya tewas.

Wartawan Belanda HC Zentgraaff menuliskan kesaksiannya tentang perang Aceh versus Belanda dalam bukunya berjudul “Atjeh”. Ia mengatakan bahwa perang Aceh salah satu perang terdahsyat di dunia. Aceh, kata dia, adalah negeri yang tak mudah ditaklukkan.

Salah satu bukti hebatnya perang Aceh melawan Belanda adalah di Kerkhof, kompleks kuburan Belanda di Jalan Teuku Umar, Banda Aceh. Lebih 2 ribu serdadu Belanda yang tewas dalam perang Aceh dikubur di sana.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya