Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya melantik Hadi Tjahjanto menjadi Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo menjelang tahun politik.
Sebagai manusia biasa, tentu ada kebanggaan dari bekas Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) itu mengemban tugas negara yang dipercayakan rakyat Indonesia kepadanya yang terlihat dari tak ada gejolak saat pelantikan alumni Akademi Angkatan Udara pada 1986 dan Sekolah Penerbang TNI-Angkatan Udara pada 1987 itu. Ada tanggung jawab yang besar dan sangat tidak mudah dipikulnya.
Menjadi panglima untuk suatu tugas pengamanan di Tanah Air, tentu tidak ringan. Apalagi Indonesia memiliki karakter kebhinekaan yang sangat khas dengan ciri yang berbeda dengan negara lainnya. Kebhinekaan suku, agama, ras dan antargolongan yang seyogyanya dijadikan sebagai sebuah potensi membangun bangsa ini, tak jarang dijadikan alat pemicu kekacauan antarpenduduk yang mengganggu stabilitas keamanan negara.
Kondisi itu saban terjadi di berbagai belahan negeri yang berazaskan Pancasila ini, meskipun di beberapa tempat lainnya masih tetap terjaga kondisi (damai) itu. Sebut saja di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan Indonesia mini karena hidup berbagai golongan suku dan agama serta golongan dari seantero nusantara ini.
(Baca Juga: Marsekal Hadi Tjahjanto, Kumis Tebal dan Jabatan Panglima TNI)
Negeri yang juga berkarakter kepulauan dan berada di lintasan perbatasan negara itu hingga saat ini belum pernah mencatat sejarah kacau karena sulutan SARA. Selain isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), negeri tercinta ini juga sering dirundung nestapa akibat gesekan politik.
Pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah baik di level kabupaten dan kota, provinsi serta pemilihan presiden, sering dijadikan sebagai menu yang didesain oleh sekelompok orang untuk mengacaukan negeri ini. Perbedaan pilihan dalam politik pilkada lalu digesek lebih jauh ke SARA agar muatan alasan konflik kian menjadi-jadi.
Hal ini tentu telah memberi dampak bagi pelaksanaan pembangunan pemerintah ke depan yang bertujuan untuk kepentingan kemakmuran masyarakatnya. Dalam konteks politik itulah, Presiden Joko Widodo telah memilih Hadi Tjahjanto sebagai panglima yang akan mengawal stabilitas keamanan terutama di tahun politik pada 2018 hingga 2019 mendatang.
Pria kelahiran Malang 8 November 1963 itu dinilai Presiden Jokowi mampu menjadi komandan yang tetap netral mengawal pelaksanaan pemilihan di tahun politik 2018 agar tetap damai dan tetap bersatu. Namun begitu, Panglima TNI harus punya sejumlah langkah taktis dan strategis demi tetap kondusifnya keamanan negeri ini.
Penguatan alutsista
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati mengatakan, sebagai negeri berkepulauan dan diharap akan menjadi Poros Maritim Dunia sesuai visi Presiden Jokowi maka diperlukan penguatan pertahanan maritim dengan fokus kepada peningkataan kemampuan TNI khususnya matra AL dan AU.
Dalam konteks itu, sesuai dengan tahapan pembangunan kekuatan maritim, sudah selayaknya alat utama sistem pertahanan (alutsista) TNI AU mendapat prioritas pertama. Kekuatan udara dibangun agar mampu beroperasi 24 jam hingga ruang udara di atas zona ekonomi exklusif (ZEE) dan landas kontinen yang ada.
Kemampuan tersebut sangat dibutuhkan TNI untuk menjamin keunggulan di udara dan di laut. Artinya, kekuatan udara tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan udara atas semua operasi militer di laut.
(Baca Juga: Sensasi Ngopi "Baringga" Bersama Panglima TNI di Ketinggian 15.500 Kaki)
TNI AU, lanjutnya selayaknya akan memberikan jaminan 'air supremacy' dan 'air superiority' agar TNI AL mampu melaksanakan semua operasi di laut menjaga stabilitas keamanan maritim. Dalam konteks itulah, sangat layak Panglima TNI dijabat unsur TNI AU untuk mewujudkan kepentingan nasional atas pertahanan maritim tersebut.
Hal penting lain, TNI AU memiliki cara pandang bahwa ruang udara memiliki nilai yang sangat penting dalam mendukung program pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah dengan fokus pada nilai ekonomis. Dengan demikian, prioritas pola gelar TNI AU mengutamakan daerah depan dan perbatasan wilayah seperti Natuna, Tarakan, Morotai, Biak, Metauke dan Kupang (Nusa Tenggara Timur) menjadi tepat.
Pembenahan alutsista TNI, dikatakan Nuning sapaan Susaningtyas terbagi ke dalam dua program yaitu, alutsista yang dimiliki sebelum 'Minimum Essential Force' (MEF) ditetapkan pemerintah dan setelah MEF berjalan.
Alutsista sebelum MEF dibenahi untuk mempertahankan 'life cycle' agar tetap dapat digunakan sesuai pasokan rantai logistik dan keahlian prajurit TNI yang mengawaki alutsista itu. Dari analisa 'Operation Reaearch' biasanya pembenahan alutsista tersebut dituntut mencapai level yang maximin yaitu yang maksimal dan semua kondisi minimal.
Sedangkan alutsista yang pengadaanya setelah MEF berlaku, maka pembenahannya diutamakan untuk 'interoperability' dan 'communability'. Pembenahan yang bersifat 'interoperability' agar seluruh alutsista ketiga matra dapat digunakan secara terintegrasi.
Contohnya meskipun jenis alat komunikasi yang diadakan oleh masing-masing angkatan berbeda tetapi tetap terintegral ke dalam sistem komunikasi ketika operasi gabungan digelar. Pembenahan yang bersifat 'communability' agar suku cadang dan/atau logistik alutsista yang diadakan oleh suatu angkatan dapat memenuhi kebutuhan angkatan lainnya.
Misal, suku cadang tank milik TNI AD dapat digunakan oleh panser Korps Marinir. Amunisi meriam kaliber 40 mm TNI AL dapat mendukung kebutuhan pesawat tempur AU. Dengan menggunakan 'Operation Research' maka lanjut dia, pembenahan alutsista tersebut dituntut mencapai level yang minimax, yaitu yang minimal dari semua kondisi maksimal.
Dengan begitu, pada prinsipnya pembenahan alutsista sebelum MEF ditujukan untuk efisiensi sedangkan pembenahan alutsista setelah MEF ditujukan untuk optimalisasi (efektif dan efisien).
Pada pembenahan alutsista yang terintegrasi dan pembenahan kompetensi serta kapasitas tempur prajurit TNI sesuai alutsista baru tersebut akan berujung pada pembenahan organisasi TNI. Dengan pembenahan organisasi TNI itu maka akan bisa dipastikan benar-benar berada dalam kondisi siap-siaga tempur.
Dari perspektif ilmu pertahanan, tuntutan kondisi tersebut harus dijawab dengan menganalisa sejauhmana efektifitas dan efisiensi organisasi TNI saat kondisi perang atau saat operasi gabungan berlangsung. Jadi, organisasi tempur TNI adalah organisasi yang bersifat permanen dan bukannya organisasi bentukan (ad hoc). Organisasi TNI tidak berubah baik pada masa damai maupun pada masa perang.
Idealnya organisasi TNI adalah organisasi tempur permanen yang dapat digunakan secara optimal pada masa damai sekaligus pada masa perang. Pembenahan organisasi TNI adalah konsekuensi logis dari pembenahan alutsista TNI.
Ipoleksosbud
Cara pandang idiologi, politik, ekonomi dan sosial budaya (ipoleksosbud) lanjut Nuning, harus dijadikan landasan analisis bagi pengentasan persoalan yang terjadi di lapangan. Seorang Panglima harus benar-benar memiliki cara pandang yang tidak kepada salah satu hal pokok saja.
Konflik kepentingan, agama, budaya, sosial yang didasari masalah ekonomi, juga akan menjadi kompleks di tahun politik. Akan sangat mewarnai masa itu. Karena itu dibutuh cara pandang yang lebih luas, lebih menujukan nilai kebangsaan dengan cara pandang ipoleksosbud sebagai sebuah kesatuan berkebangsaan.
Atensi khusus daerah berpotensi konflik
Sebagai komandan atas seluruh TNI, tentunya panglima memiliki segudang hak dan kewajibannya untuk bisa melanggengkan fungsi pengamanannya. Pemetaan daerah berpotensi konflik seperti Papua, Aceh, Maluku, Poso hingga ke sejumlah titik daerah perbatasan dan daerah terpencil harus dilakukan.
Dalam konteks itu, Nuning meminta agar ada atensi khusus bagi daerah-daerah yang berpotensi konflik itu dengan mulai mengkalkulasi sejumlah pemicu dan embrio potensi konflik masing-masing daerah yang tentunya akan berbeda sesuai dengan kondisi dan budaya serta kepentingan daerah setempat. Kerja sama seluruh komponen TNI dan Polri wajib dilakukan.
(Baca Juga: Amanat Lengkap Marsekal Hadi Tjahjanto saat Menjabat Panglima TNI)
Kewaspadaan terhadap masuknya intervensi asing melalui 'hybrid' atau 'proxy' yang bisa menunggangi politik harus bisa diantisipasi sejak dini. Hal mana akan dibungkus manis dengan sejumlah kepentingan baik kepentingan politik itu sendiri maupun ekonomi.
Tentunya memimpin keamanan di negeri bercorak kepulauan, berbhineka, beragam suku dan agama dengan jumlah penduduk yang juga berjubel ini tidak mudah semudah berkata-kata. Perlu koordinasi, kerja sama dan yang terpenting keikhlasan dalam memimpin.
Ada berjuta asa ratusan juta rakyat Indonesia termandat di pundak sang panglima. Karena kedamaian akan mampu memberikan dampak bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Panglima TNI Hadi Tjahjanto tentu sudah siap melaksanakan tugas pascamenerima tongkat komando dari pendahulunya. Ada banyak pekerjaan rumah yang masih butuh sentuhan tangan dingin panglima. Damai Indonesia, jayalah TNI.
(Fiddy Anggriawan )