Mungkin petani yang paling terkenal dalam sejarah politik Indonesia adalah Kang Marhaen. Ia pertama kali diperkenalkan Presiden Soekarno (Bung Karno) dalam pleidoinya pada persidangan di Landraad Bandung tahun 1930, dengan judul “Indonesia Menggugat”.
Terlepas ia benar-benar ada atau hanya sebagai sosok imajiner, nama petani yang ditemui proklamator Indonesia ini lalu menjadi nama ideologi partai bentukannya. Marhaenisme menjadi ideologi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Meski merujuk pada sosok petani, ideologi partai yang berdiri 4 Juli 1927 ini tentu tidak hanya untuk memperjuangkan petani, tapi seluruh rakyat kecil. Marhaenisme Bung Karno maksudkan sebagai simbol perjuangan bagi petani, buruh, nelayan, pedagang, dan semua yang tergolong rakyat kecil.
Tujuannya agar rakyat terbebas dari segala bentuk eksploitasi yang dibawa oleh kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme ketika itu. Sehingga rakyat mampu mandiri, menjadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.
Identitas Partai Baru
Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019, bermunculan partai-partai baru yang juga tentu bertujuan memperjuangkan rakyat. Salah satu di antaranya adalah Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Dari nama yang mirip dengan salah satu sila Pancasila ini, Partai Perindo jelas menunjukkan posisinya sebagai partai nasionalis. Perindo memilih Pancasila sebagai ideologinya, sebagaimana juga memilih cita-cita pada Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai cita-cita perjuangan.
Ideologi sebagai identitas partai sangat penting. Identitas dibutuhkan sebagai pembeda satu dengan yang lain, khususnya untuk mereka yang terbilang baru. Tetapi dalam konteks politik, lebih dari itu ideologi juga merupakan pedoman, ke arah mana rakyat akan bersatu.