Tato Tradisional Mentawai Melawan Pesatnya Zaman

Rus Akbar, Jurnalis
Minggu 06 Mei 2018 14:15 WIB
Proses Pembuatan Tato Tradisional Khas Mentawai (foto: Rus Akbar/Okezone)
Share :

Tato dada laki-laki dan perempuan tidak sama, memang ada tato perempuan di dada tapi simbolnya adalah subba (tangguk) biasanya kaum perempuan Mentawai pergi paliggara (menangguk ikan di sungai).

Kalau tato itu di lengan ada beberapa gari berbentuk duri rotan, kata Aman Telepon, itu gambar duri rotan, bagi masyarakat rotan merupakan tumbuhan penting dalam kehidupannya, mereka bisa membuat oorek (keranjang), roiget (long ayam), bahkan sebelum ada paku rotan biasanya dipakai untuk mengikat tonggak-tonggak rumah.

“Kalau itu tidak ada sebab mereka tidak bisa melakukan itu,” ujarnya.

 

Di bagian punggung tangan ada motif seperti mata pancing bermata dua dan bermata satu. “Itu simbol pancing memiliki arti untuk mendapatkan ikan-ikan masyarakat Mentawai itu memancing ke sungai dan ke laut, kemudian arti lain pancing itu menyimbolkan orang Mentawai sangat ulet bekerja dan selalu berhasil makanya itu runcing sebagai symbol berhasil,” ujarnya.

Motif tato punggung telapak tangan laki-laki dan perempuan ini sama tidak ada membedakannya yang membedakan cara mereka bekerja namun tujuan yang dicapainya sama. “Kalau tato diwajah itu adalah simbol teggle (parang), garisnya dari pipi bawa melengkung kearah telinga. Namun perempuan tidak ada,” tutur Aman Telepon.

Kemudian di bagian paha dinamakan motif balagau, motif ini hanya dipakai kaum laki-laki balagau merupakan simbol lantai rumah adat Mentawai. Balagau adalah batang ruyung yang sudah dibelah-belah untuk membuat lantai. “Ini hanya bisa dilakukan kaum laki-laki bahwa dia sudah matang dan sudah bisa membuat rumah, bagi kaum perempuan itu tidak dilakukan makanya tidak ada,” katanya.

Kemudian motif di punggung berupa garis tegak dari belakang kepala sampai pinggul dan ada garis melintang di dari bahu belakan kiri ke kanan. “Motif ini adalah motif serepak (cadik), ini merupakan symbol penyeimbang dalam kehidupan selalu arif dan bijaksana dalam memberikan keputusan,” tutur Aman Lauklauk.

Untuk merajah tubuh, Aman mengaku menyiapkan beberapa bahan, pertama adalah lakkuk (tempurung kelapa), lalu tempurung itu diletakan di atas perapian bagian dalamnya menghadap api hingga menghitam dan menghasilkan jelaga.

Lalu bahan selanjutnya adalah tebu yang diperas airnya masuk ke dalam tempurung yang sudah memiliki jelaga kemudian diaduk-aduk air tebu tersebut dengan jelaga hingga kental, itulah tintanya untuk menato tubuh.

Peralatan berikutnya adalah kayu sepanjang 30 sentimeter dengan posisi ujungnya melengkung ke atas, kemudian bagian lekukan itu ditancapkan peniti sebagai jarum, lalu kayu lurus atau batang ruyung yang sudah dihaluskan sebesar ibu jari dewasa sebagai pengetok tongkat jarum.

“Siboiki ara titi’ sikebbukat (dulu nenek moyang ditato) jarum itu bukan dari peniti tapi dari duri batang muntei (sejenis batang jeruk bali), tapi karena perkembanganya sudah ada jarum maka itulah yang dipakai, sebab kalau dengan duri ukurannya lebih besar dan tidak tahan lama,” ungkap Aman Telepon.

Jika ingin mentato orang Mentawai itu harus menyembeli satu ekor babi pada sekali mentato. Mentato juga tidak langsung semuanya karena itu sangat beresiko dan bisa sakit.

Bagi masyarakat Mentawai memiliki waktu jeda sebulan, atau sampai bagian yang ditato tersebut betul-betul sembuh dan sudah dinilai bagus, jika belum maka akan diulangi menato dan kembali memotong babi untuk pesta.

“Jadi setiap mentato tubuh kita selalu memotong babi, seperti saya lakukan jadi setiap bagian tubuh saya selalu ada punen (pesta) memotong babi, tidak hanya itu saja upah sipatiti’ juga diberikan berupa bagian tubuh babi yang sudah dimasak dalam okbuk (lembang bambu) babi, kemudian satu batang durian atau kelapa sebagai oleh-oleh dibawa pulang, tak malabbei masititi’ (tidak mudah mentato),” ujarnya.

Sebelum merajah tubuh terlebih dahulu mengambil lidi dan sudah dioleskan jelaga campur air tebu, kemudian menempelkan ke kulit, itu untuk sebagai pemandu tato. Lalu jarum dan kayu yang sudah ada ujung jarum dicelupkan ke dalam tempurung yang sudah ada jelaga bercampur air tebu. “Maka kita mulai mentato tubuh,” cetus Aman.

Aman Lauklauk ayahnya Aman Telepon, anak muda di Mentawai sudah tidak lagi merajah tubuhnya dengan tato Mentawai, menurutnya ini disebabkan saat masuknya agama di Mentawai pemerintah dan aparat keamanan memusnahkan seluruh atribut kebudayaan Mentawai karena dianggap itu jelek dan primitif.

“Dulu kami dilarang mentato tubuh karena tidak boleh oleh pemerintah kami dianggap primitive,” terangnya.

Setelah adanya pemaksaan memeluk agama tersebut banyak anak muda tidak lagi mentato badan. Selain itu saat ini sudah modern generasi memiliki sekolah tidak ada waktu untuk merajah tubuh. Tak hanya saja merajah tubuh itu sakit dan butuh biaya yang mahal.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya