Seorang warga desa, Komari (64) menuturkan keberagaman umat beragama di Balun pasca adanya peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965. Di mana setiap mereka yang masih menganut kepercayaan kejawen harus beralih ke lima agama yang diakui pemerintah saat itu.
Lalu menurut para sesepuh, ada seseorang tentara putra daerah Desa Balun yang sebelumnya bertugas di Sulawesi, bernama Mbah Batiyng menikah dengan warga desa sebelah dan memeluk agama Kristen.
Dari sana ia mengajak warga yang belum memutuskan beragama untuk ikut di-baptis sebagai penganut agama Kristen. Setelah itu Mbah Bati diminta warga mencalonkan kepala desa mengingat saat itu kondisi warga yang masih mencekam.
"Setelah jadi sebagai kepala desa. Mbah Bati ini meminta warganya yang di luar 5 agama yang diakui pemerintah untuk memilih masuk supaya menghindari pembunuhan massal," jelas Komari.
Kembali ke kehidupan sehari - hari, Ketua Gereja Kristen Jawi (GKJ) Desa Balun, Sutrisno mengungkapkan momentum bulan Ramadan seperti saat ini menjadi salah satu contoh bagaimana toleransi begitu tinggi di Balun.
"Makanya kami menemui njenengan niki (kamu ini) kan ya tidak merokok meski biasanya ya jedal jedul rokok-nya, air putih juga saya masukkan. Karena saya tahu njenengan (kamu) sedang puasa," tutur Sutrisno yang kediamannya hanya berjarak 20 meter Selatan Masjid Miftakhul Huda.
Kalau perayaan hari Idul Fitri, pemeluk agama selain Islam boleh bersilaturahmi ke pemeluk agama Islam untuk mengucapkan Idul Fitri dan ber-halal bi halal. Begitu pun saat kaum Kristiani merayakan hari raya Natal, bila ada umat Islam atau Hindu yang mengucapkan juga tak masalah, tapi tidak juga tak membuat umat Kristiani tersinggung.
Saat perayaan Hari Raya Nyepi umat Hindu, semua masyarakat pun turut mengedepankan toleransinya dengan tak sembarangan keluar rumah jika tak penting.
"Di masjid lampu - lampu yang dekat pura dimatikan. Saat salat tidak pakai qori' sebelum adzan. Hanya adzan yang pakai speaker. Kalau Jum'atan, khutbah tidak pakai pengeras suara," ujar Ketua Ta'mir Masjid Miftakhul Huda, Suwito.
Bahkan karena toleransinya, umat Kristiani rela mengundurkan misa ibadah, bilamana umat Islam atau umat Hindu di saat bersamaan sedang menjalani proses ibadah penting mereka.
"Dulu pernah waktu Natal bersamaan dengan Idul Fitri atau Idul Adha kalau tidak salah. Nah karena umat Islam ibadahnya ditentukan waktu, jadi kami umat Kristen bisa menyesuaikan. Kita undur misa setelah umat Islam selesai salat Id," tutur Sutrisno.
Menurut Sutrisno, umat Kristiani tak mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan tak jarang di ibadah petang, bila bersamaan dengan jadwal slat Maghrib maka ibadah diundur setelah salat Maghrib selesai jam 18.30 WIB.
"Begitupun kalau Muslim kalau kita sedang ada ibadah bersamaan dengan salah satu waktu salat lima waktu misalkan. Ya mereka tidak pakai qori' dan langsung adzan menggunakan pengeras suara," ungkap Sutrisno.