JAKARTA - Tepat 17 tahun lalu Presiden keempat Indonesia (Alm) Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh MPR/DPR melalui sidang istimewa pada 23 Juli 2001. Jatuhnya pria yang akrab disapa Gus Dur dari kursi orang nomor satu di Indonesia itu kerap disangkutkan dengan kebijakannya mengeluarkan Dekrit Presiden.
Sebagai Presiden di era pasca-reformasi, Gus Dur dikenal dengan sosok yang berani melawan arus melalui pernyataan dan kebijakannya. Namun, hal itu justru membuat sejumlah elite politik kala itu tak nyaman.
Menurut mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur, Adhie Massardi, pembahasan dilengserkannya Gus Dur dari kursi Presiden sudah mulai dibahas oleh elite partai politik jauh sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden. Kebijakan itupun yang akhirnya dijadikan kamuflase Sidang Istimewa untuk menurunkan pria kelahiran Jombang tersebut sebagai Kepala Negara.
"Sidang Istimewa pelengseran Gus Dur itu sudah terjadi sebelum dekrit keluar," kata Adhie saat berbincang dengan Okezone soal sejarah Dekrit Presiden Gus Dur, belum lama ini.
Tiga poin Dekrit Presiden Gus Dur, yakni, membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggaran Pemilu dalam waktu satu tahun.
Ketiga, menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golongan Karya sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung, untuk itu kami memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mengamankan langkah penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang serta menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi seperti biasa.
(Foto: nu.or.id)
(Baca Juga: 17 Tahun Silam, Dekrit dan Celana Pendek Gus Dur)
Pelengseran Gus Dur mulai diserukan beberapa tokoh politik sejak dihembuskannya isu kasus dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei. Namun, hal tersebut gagal dijadikan alasan untuk menjatuhkan Gus Dur sebagai Presiden, karena tidak terbukti.
"Kemudian mereka (elite politik) mencari cara-nya apa karena lewat kasus bulog kan tidak menemukan bukti. Pasus ketika itu rekomendasinya tidak dipakai karena tidak terpenuhi syarat," tutur Adhie.
Adhie mengungkapkan, elite politik pun terus mencari celah kesalahan Gus Dur untuk menjatuhkannya. Akhirnya, keputusan menggelar Sidang Istimewa pun tetap untuk dilaksanakan setelah para petinggi partai politik menggelar rapat.
"Pertama, ada rencana bahwa pimpinan partai termasuk PKB itu percepatan untuk melengserkan Presiden," tutur Adhie.
(Baca Juga: Gus Dur Tertawa Melihat "Akrobat Politik" yang Melengserkannya)
Pelengseran itu sendiri awalnya menggunakan alasan soal pergatian Kapolri. Gus Dur saat itu memecat Jenderal Bimantoro dan mengangkat Jenderal Chairudin Ismail sebagai pimpinan Polri. Kebijakan itu yang dijadikan senjata oleh parlemen untuk menggelar Sidang Istimewa. Pasalnya, keputusan Gus Dur dinilai pelanggaran berat karena tidak melibatkan DPR/MPR dalam pengangkatan Kapolri.