Pesta Malam Tahun Baru, Sulit Dihindari tapi Bisa Diantisipasi

Taufik Budi, Jurnalis
Sabtu 29 Desember 2018 11:30 WIB
Share :

Sosiolog Universitas Negeri Semarang (Unnes), Fulia Aji Gustaman, menyebut setidaknya terdapat tiga alasan orang melakukan perayaan tahun baru. Meski menyambut tahun baru Masehi merupakan budaya Barat, namun beragam kegiatan yang dilakukan dianggap menarik sehingga ditiru.

“Jadi itu (perayaan tahun baru Masehi) bentuk akulturasi budaya. Budaya itu sebenarnya bukan budaya kita, tapi diadopsi dari budaya luar, kemudian kok menarik. Orang lokal berusaha mengikuti karena di situ ada kesenangan, ada euforia macam-macam dengan tujuan untuk mencari kesenangan. Salah satunya bisa melihat kembang api, dan sebagainya,” tutur Aji.

Aji menambahkan, kegiatan masyarakat untuk berkumpul, meniup terompet, hingga konvoi kendaraan merupakan sebagai bentuk ekspresi kebahagiaan. Hal itu sebagai bukti bahwa mereka telah melakukan sesuatu pada tahun kemarin dan akan disempurnakan di tahun berikutnya.

“Kemudian yang kedua bisa jadi itu merupakan sebuah ekspresi bahwa saya sudah melakukan sesuatu di tahun kemarin. Saya sudah berhasil melakukan sesuatu, di tahun ini saya masih diberi kesempatan untuk memulai hal yang baru, memperbaiki kesalahan, atau kerja saya yang belum maksimal di tahun kemarin. Sehingga ekspresinya adalah sebuah perayaan degan harapan tahun akan datang, apa yang kurang di tahun kemarin bisa lebih maksimal lagi,” terangnya.

Dia juga menyampaikan, kecenderungan masyarakat menyambut malam pergantian tahun disebut bukan sekadar untuk merayakannya. Banyak di antara massa hanya untuk menyaksikan orang bersuka cita merayakan tahun baru. Terlebih di pusat-pusat keramaian biasanya juga terdapat panggung hiburan.

“Ini adalah sarana mencari hiburan. Artinya orang ini tidak bermaksud merayakan (tahun baru) tapi dia ingin melihat euforia dari orang yang merayakan, karena di situ ada kembang api, ada hiburan, ada band musik, dan sebagainya. Sebenarnya orang itu tidak ingin merayakan, tapi dia ingin melihat orang yang merayakan,” jelas dia.

Aji juga menyoroti masyarakat Indonesia terutama Jawa memiliki sistem penanggalan berbeda yaitu Saka. Termasuk mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam juga mempunyai kalender sendiri yakni Hijriah. Umumnya, umat Islam dan masyarakat Jawa menyambut tahun baru Saka dan Hijriah dengan melakukan ritual doa maupun refleksi atas dosa yang telah dilakukan.

“Sebenarnya secara budaya mungkin itu jauh dari budaya kita. Karena kalau orang Jawa itu juga punya kalender sendiri, orang muslim juga punya kalender sendiri. Dan mereka mempunyai cara ritual sendiri untuk memaknai saat pergantian tahun,” tukas dia.

“Kalau orang muslim mungkin dia melakukan ritual bergantinya tahun dengan melakukan refleksi, bahwa dosa apa yang sudah dilakukan di tahun kemarin, kemudian perbaikan apa yang nanti akan dilakukan di masa yang akan datang. Sebagaimana pula dengan orang Kejawen punya sistem penanggalan sendiri, dia juga punya makna simbolik tersendiri dalam memaknai,” beber Aji.

Menurut Aji, bagi sebagian orang menyambut tahun baru dengan gemerlap kembang api di langit sebagai tindakan pemborosan. Sebab, pesta kembang api yang disertai beragam kegiatan panggung hiburan menelan anggaran besar.

“Bagi yang kontra, mungkin kurang begitu bermanfaat karena di situ ada suatu hal yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal lain. Contohnya pesta kembang api, anggaran untuk pesta kembang api itu bisa digunakan untuk hal yang lain misalnya untuk keperluan sedekah. Kalau itu personal untuk mencukupi kebutuhan hidup kalau itu negara yang menyelenggarakan bisa untuk perbaikan infrastruktur,” tearngnya.

Selain itu, berkumpulnya massa tak jarang juga memicu aksi kriminalitas. Bahkan, sesama peserta konvoi kendaraan juga tak jarang terjadi perselisihan hingga menimbulkan kerawanan sosial. Belum lagi potensi kecelakaan lalu lintas yanhg menelan korban jiwa, karena konvoi dalam jumlah besar seringkali tak mematuhi peraturan.

“Hiruk-pikuk dari orang yang mau merayakan tahun baru ini pasti ada sebuah dampak. Entah itu yang mengarah pada kriminal atau kecelakaan lalu lintas. Kemudian dampak yang lain tentu pasti akan menimbulkan banyak sampah di situ,” sebutnya.

“Jadi kalau memang itu banyak madhorot (tidak manfaat) kenapa harus dilakukan, kan lebih baik di rumah refleksi, kemudian menyiapkan strategi untuk perbaikan di tahun yang akan datang itu jauh lebih baik daripada kita ikut merayakan. Belum lagi nanti kalau misalnya kesenggol jatuh, karena krodit. Malah menimbulkan dampak yang kurang baik secara personal maupun umum,” tandas dia.

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya