Ini Skema Program Kuliah Magang Mahasiswa Indonesia yang Diduga Kerja Paksa di Taiwan

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Jum'at 04 Januari 2019 08:10 WIB
Ilustrasi Taiwan. (Foto: EPA)
Share :

PROGRAM kuliah magang ratusan mahasiswa Indonesia di Taiwan yang diduga ada unsur kerja paksa disebut organisasi untuk pekerja migran, Migrant Care, memiliki modus perdagangan manusia. Praktik kuliah magang di Taiwan yang melibatkan ratusan mahasiswa Tanah Air ini telah berjalan selama sekira setahun mulai tahun ajaran 2017-2018.

Skema bernama Industry-Academia Collaboration digagas Kementerian Pendidikan Taiwan dan dapat diikuti siswa SMA/sederajat di Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara serta Australia. Para mahasiswa sebagian diberangkatkan ke Taiwan melalui para agen, dan melalui modus seperti inilah yang dicurigai Migrant Care ada unsur perdagangan manusia.

"Kita melihat ini trafficking ya, tapi dengan modus pengiriman mahasiswa magang. Sebenarnya, ini sudah lama sekali modus seperti ini," ungkap Anis Hidayah, ketua pusat studi migrasi Migrant Care, kepada wartawan BBC News Indonesia, Kamis 3 Januari 2019.

Anis yakin praktik ini perdagangan manusia karena terjadinya overtime alias jam kerja melewati peraturan dan gaji yang tidak standar. "Ketiga, unsur eksploitasinya masuk. Kemudian yang keempat bahwa ada penipuan di banyak proses. Yang kelima, tentu keuntungan besar oleh para pemainnya," paparnya.

Menurut Anis, kasus serupa pernah terjadi beberapa tahun lalu di Malaysia dengan tawaran edukatif dijadikan kedok perdagangan manusia.

"Itu dimanfaatkan, karena ini dilihat reguler, potensinya ada, jaringan trafficking itu kan melihat supply dan demand juga," tutur Anis.

Kuliah dengan Biaya Sendiri Sambil Magang

Sementara Sutarnis, ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan, mengatakan mereka sudah lama mengamati program kuliah magang tersebut setelah mendapat sejumlah keluhan dari peserta program.

"Jadi ini adalah program mandiri. Program ini tanpa beasiswa, walaupun ada satu-dua universitas yang menyediakan beasiswa terbatas," tutur Sutarsis.

"Mereka harus membiayai biayanya sendiri dengan bekerja atau magang. Jadi, ini adalah kuliah S-1 (sarjana) di mana skema pembiayaannya adalah mandiri, dengan cara siswa itu bekerja di industri."

"Yang kami tahu bahwa detail mengenai biaya hidup, biaya kuliah, kemungkinan mereka akan bekerja, berapa jam (kerja), setiap jamnya itu penghasilannya berapa, itu. Di awal mereka datang tidak banyak yang paham, bahkan mayoritas tidak paham," jelas Sutarsis terkait hasil temuannya sejauh ini.

Aspek finansial banyak dikeluhkan peserta program yang sebagian besarnya berasal dari kalangan kurang mampu.

Selain ketidaksiapan finansial, menurut dia, keluhan lain yang diungkapkan antara lain ketidaksesuaian industri perusahaan tempat magang dengan program studi yang diambil, kelebihan jam kerja, serta skema gaji yang diberikan perusahaan.

"Karena mereka mayoritas melalui agen (perantara), dan agen ini kami lihat banyak yang tidak kredibel, artinya banyak janji-janji dari mereka itu kadang kala tidak sesuai," ungkap Sutarsis yang tengah menempuh studi doktoral di National Central University, Taiwan.

Sayangnya, sebagian besar mahasiswa tak membuat perjanjian hitam di atas putih dengan agen-agen pendidikan yang menjadi perantara.

"Tidak ada kesepahaman yang tertulis atau perjanjian, item-item ketentuan apa saja yang detail mengenai pelaksanaan program magang kuliah dan kerja ini," katanya, "Sehingga ya itu tadi, mudah untuk 'dimainkan' untuk kepentingan yang menguntungkan pihak tertentu."

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya