JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mempercepat putusan terkait uji materi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 449 ayat 5 UU Nomor 7 Tahun 2017 kembali digugat ke MK karena mengatur hitung cepat di Pemilu 2019.
"KPU ya kepentingannya sekarang agar putusan itu bisa dikeluarkan tepat waktu, supaya putusan itu memberikan manfaat dan bisa dieksekusi," ujar Ketua KPU, Arief Budiman dalam diskusi bertema 'Menggugat Pasal Quick Count Pemilu' di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Arief menerangkan, saat ini pihaknya masih mengacu pada aturan yang ada dalam UU Pemilu. Apalagi, sebelumnya pasal tersebut juga pernah dibatalkan oleh MK. Ia berharap, uji materi UU Pemilu tersebut bisa segera diputuskan secepatnya.
"Hitung cepat keluar sebelum hari pemungutan suara, sangat penting agar MK memutuskan dengan cepat persoalan ini," kata dia.
Akreditasi lembaga survei pemantau Pemilu lanjut Arief, dilakukan oleh Bawaslu. Lembaga survei yang telah mendaftar ke KPU nantinya akan diberikan sanksi bila salah menyampaikan hasil surveinya ke publik.
"Pemantau Pemilu diberikan ke Bawaslu untuk diberikan akreditasinya. Lembaga survei mendaftar KPU dan surat pernyataan pendaftaran. Tidak diberikan akreditasnya. Kalau ada yang salah persepsi, nanti mereka yang kasih sanksi. Kita bisa bikin dewan etik," tuturnya.
Sebelumnya, Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 449 Ayat (2), Ayat (5), dan Ayat (6); Pasal 509; dan Pasal 540 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke MK. Gugatan tersebut khususnya menyangkut larangan hasil survei yang dirilis pada masa tenang dan waktu penayangan hitung cepat atau quick count.
AROPI menilai, dilarangnya penayangan hasil survei dan hitung cepat dua jam setelah Tempat Pemungutan Suara (TPS) Waktu Indonesia Barat (WIB) tutup, dinilai merugikan publik. Hal itu karena mereka tidak bisa mendapatkan informasi prediksi hasil pemilu secara cepat.
(Rizka Diputra)