Hasibullah mengatakan para korban terorisme adalah pahlawan negara karena sasaran teroris sebenarnya adalah sistem negara, namun negara terlindungi karena adanya para korban tersebut.
AIDA mendorong agar pemberian kompensasi kepada para korban terorisme lama tidak menggugurkan hak-hak lain di luar kompensasi, karena hak-hak korban pada prinsipnya berdiri sendiri-sendiri.
"AIDA mendorong pemberian kompensasi kepada para korban terorisme didasarkan atas asas keadilan dan kesetaraan," kata Hasibullah.
Seorang korban teror bom Thamrin, Dwi S Rhomdoni alias Dwieky mengatakan, belum semua korban terorisme mendapat ganti rugi dari negara meski itu sudah diamanatkan oleh UU. Penyebabnya karena tidak adanya PP.
Untuk korban bom Thamrin dan Kampung Melayu, kata dia, sudah dapat. Dia mencontohkan korban bom Thamrin yang berjumlah 30 orang, 11 orang dapat kompensasi dari putusan pengadilan dan 14 lainnya dapat kompensasi medis.
Nilai kompensasi kepada korban berbeda-beda tergantung tingkat keparahannya. Ada yang dapat Rp100 juta, 50 juta bahkan 20 juta.
"Saya dapat Rp100 juta," kata Dwieky.
Menurutnya kompensasi kepada korban sangat penting karena dampak penderitaan yang mereka terima berkepanjangan bahkan dengan fisik yang tidak lagi sempurna.
Dwieky sendiri masih menjalani pengobatan dan terapi secara rutin, meski sudah tiga tahun bom Thamrin berlalu. "Saya masih sering merasakan sakit di sini," katanya sambil menunjuk bagian tengkuk.
Fitriani, korban bom Kampung Melayu juga mengaku masih sering merasakan sakit di tengkuh, punggung dan lengan. Bahkan tangan kanannya sulit di angkat.
"Sekarang masih sakit, jadi belum bisa kerja," kata perempuan asal Brebes, Jawa Tengah yang biasa dipanggil Pipit ini.
(Edi Hidayat)