Amnesty International meminta pemerintah Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi untuk mengendalikan pasukan keamanan dan menyelidiki pembunuhan yang terjadi. Organisasi itu mengecam kebrutalan polisi terhadap para demonstran.
"Sangat memalukan bahwa pasukan keamanan Irak berkali-kali berurusan dengan pengunjuk rasa dengan kebrutalan menggunakan kekuatan mematikan dan tidak perlu. Sangat penting bahwa pihak berwenang memastikan investigasi yang sepenuhnya independen dan tidak memihak, "kata Lynn Maalouf, Direktur Riset Timur Tengah Amnesty International.
PBB mendesak pemerintah untuk "melakukan pengekangan maksimum" dan memungkinkan berlangsungnya demonstrasi damai.
Irak telah berjuang untuk pulih sejak mengalahkan kelompok teroris Islamic State (IS) pada 2017. Infrastruktur negara itu telah hancur perang saudara sektarian yang terjadi selama satu dekade, pendudukan asing, dua invasi Amerika Serikat (AS), sanksi AS dan perang melawan tetangganya.
Setelah akhirnya mencapai perdamaian dan bebas untuk berdagang, banyak warga Irak mengatakan pemerintah mereka gagal membangun kembali negara itu.
Demonstrasi dimulai di Baghdad pada Selasa dan dengan cepat tumbuh dan menyebar ke kota-kota lain, terutama di selatan Irak. Polisi telah menembakkan peluru hidup, gas air mata dan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Para pengunjuk rasa mengarahkan kemarahan mereka pada kelas pemerintah dan politik yang mereka katakan korup dan tidak melakukan apa pun untuk meningkatkan kehidupan mereka.
Perdana Menteri Abdul Mahdi mengetuai pertemuan darurat dewan keamanan nasional dan memerintahkan jam malam Kamis di Baghdad. Hanya pelancong dari dan ke bandara, ambulans, beberapa pegawai pemerintah dan peziarah yang diizinkan di jalanan.
(Rahman Asmardika)