BISHKEK - Presiden Kyrgyzstan Sooronbay Jeenbekov telah mengundurkan diri pada Kamis (15/10/2020) setelah protes berhari-hari menyusul sengketa pemilihan umum yang menjerumuskan negara itu dalam kekacauan.
"Saya tidak ingin tercatat dalam sejarah Kyrgyzstan sebagai presiden yang menumpahkan darah dan menembak warganya sendiri," kata Jeenbekov dalam sebuah pernyataan yang dilansir BBC.
Kyrgyzstan saat ini berada dalam krisis sejak pemilihan parlemen pada 4 Oktober yang memicu protes dan kerusuhan di seluruh negeri. Rangkaian demonstrasi memaksa pejabat pemilihan untuk membatalkan hasil penghitungan suara, dan juga menggulingkan pemerintah.
BACA JUGA: Demonstran Serbu Gedung Parlemen Kyrgyztan, Bakar Sebagian Bangunan
Jeenbekov menjadi presiden ketiga Kyrgyztan yang digulingkan oleh pemberontakan rakyat sejak 2005. Negara Asia Tengah itu memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet pada 1991.
Ketika meninggalkan kantor Jeenbekov menyerukan perdamaian, memperingatkan bahwa Kyrgyztan berada di ambang konflik.
"Militer dan aparat keamanan akan diwajibkan menggunakan senjatanya untuk melindungi kediaman negara. Darah pasti akan tumpah. Saya mengimbau kedua belah pihak untuk tidak terpancing provokasi," katanya.
Dia juga meminta Perdana Menteri Sadyr Japarov yang baru diangkat dan politisi oposisi lainnya untuk "membawa pendukung mereka pergi" dari ibu kota sehingga perdamaian dapat kembali ke Bishkek.
BACA JUGA: Kyrgyzstan di Ambang Perang Saudara
Kerusuhan dimulai setelah demonstran turun ke jalan-jalan ibu kota dan menyerbu gedung-gedung pemerintah, menuntut pemungutan suara baru dan pengunduran diri Jeenbekov, yang pro-Rusia.
Mereka mengatakan hasil pemilu telah dicurangi, klaim yang menurut pengawas internasional "kredibel" dan menyebabkan "keprihatinan serius", ketika kelompok saingan bentrok untuk mendapatkan kekuasaan, dengan beberapa politisi mengajukan tawaran untuk menjadi perdana menteri.
Lebih dari 1.200 orang terluka dan satu orang tewas dalam bentrokan jalanan sejak protes meletus.