Nama keluarga sejak lama menjadi perihal yang diperebutkan.
Di Inggris, menurut Sophie Coulombeau, akademisi University of York, keinginan perempuan mempertahankan nama belakang dikaitkan dengan "ambisi" yang tidak pantas sejak tahun 1605.
Para perempuan yang menentang tradisi patriarki ini menghadapi amukan dan resistensi. Namun lewat putusan pengadilan, sejak akhir tahun 1800-an beberapa perempuan akhirnya memenangkan hak untuk menggunakan nama mereka.
Pergulatan serupa dilakukan para aktivis hak suara perempuan di Amerika Serikat. Baru tahun 1972 serangkaian keputusan pengadilan memastikan bahwa perempuan dapat menggunakan nama belakang sesuka mereka.
Lebih dari 40 tahun sejak tonggak hukum di AS tadi, banyak orang di Jepang menyongsong momen penting dalam pergulatan mempertahankan nama keluarga.
Kaori Oguni adalah satu dari lima penggugat yang menggugat pemerintah Jepang. Dia menyebut undang-undang tentang nama keluarga tidak konstitusional dan melanggar hak asasi manusia.
Namun tahun 2015, Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa menggunakan satu nama keluarga dalam sebuah keluarga adalah hal yang masuk akal dan menjunjung tinggi aturan abad ke-19.
"Rasanya seperti ada guru arogan yang memarahi kami," kata Oguni yang masih menggunakan nama lahirnya secara informal.
"Saya berharap pengadilan menghormati hak-hak individu," ujarnya.
Sejak saat itu, banyak pasangan yang tidak inginn mengubah nama keluarga mereka dianggap melawan hukum.
Namun pengadilan menyatakan bahwa parlemenlah yang harus memutuskan apakah mereka akan mengesahkan peraturan baru terkait hal ini.
Perpolitikan Jepang, seperti kebanyakan lingkungan pekerjaan di negara itu, didominasi laki-laki.
Di Jepang terdapat budaya yang secara mengakar memandang pengasuhan anak dan urusan rumah tangga sebagai tugas perempuan, bahkan jika sang perempuan bekerja di luar rumah. Seksisme mendarah daging.
Tidak mengherankan jika Jepang memiliki catatan kesetaraan gender yang buruk. Mereka ada di peringkat ke-121 dari 153 negara dalam kajian Forum Ekonomi Dunia terakhir.
Pemerintah Jepang menyebut menginginkan lebih banyak perempuan memasuki angkatan kerja yang menyusut. Tapi ketimpangan gender mereka tampaknya semakin besar. Jepang tergelincir 11 peringkat dari riset kesetaraan gender sebelumnya.