Kisah Beberapa Pasangan yang Dituduh Merusak Tatanan Keluarga Seluruh Jepang

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Senin 08 Maret 2021 07:13 WIB
Mari dan pasangannya tidak akan menikah sebelum aturan tentang nama keluarga diubah (Foto: Mari Inoue)
Share :

  • Tanda-tanda perubahan

Munculnya Yoshihide Suga sebagai Perdana Menteri baru Jepang tahun lalu dengan cepat meningkatkan harapan di antara aktivis seperti Naho.

Penyebabnya, Suga secara terbuka mendukung reformasi aturan nama belakang.

Namun Desember lalu pemerintah Jepang mengingkari cita-cita pemberdayaan perempuan. Mereka memperlemah program kesetaraan gender dengan tidak mencantumkan masalah nama keluarga.

"Ini dapat menghancurkan struktur sosial yang berbasis rumah tangga," kata Sanae Takaichi, mantan menteri urusan dalam negeri, Desember lalu.

Pekan kemarin, menteri baru Jepang untuk bidang pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, Tamayo Marukawa, menentang perubahan hukum yang memungkinkan perempuan tetap dapat menggunakan nama lahir mereka.

"Bagi banyak kalangan di Jepang, perempuan yang tidak ingin memakai nama keluarga suaminya tidak hanya mengganggu keluarga inti, tapi juga seluruh gagasan tentang keluarga", kata Linda White, profesor kajian Jepang di Middlebury College, AS.

White memaparkan bagaimana sistem tradisional koseki—daftar keluarga yang didasarkan pada marga tunggal—turut melestarikan kendali patriarki, dari pemerintah hingga bisnis besar.

Masyarakat Jepang sendiri sepertinya membuka diri terhadap perubahan. Survei baru-baru ini menunjukkan dukungan mayoritas sikap yang menerima pasangan suami-istri dengan nama keluarga berbeda.

Jajak pendapat oleh Chinjyo Action dan Waseda University bulan Oktober lalu mencatat, 71% responden mereka mendukung pemberian hak terhadap setiap individu untuk menentukan nama belakang.

Dalam lanskap yang sedang berubah ini, sembilan gugatan hukum baru sedang diajukan. Tidak seperti sebelumnya, ketika semua, kecuali satu penggugat, adalah perempuan, hampir setiap gugatan baru ini melibatkan laki-laki.

Tampaknya ini adalah strategi yang secara sadar disusun dalam sebuah gerakan. Banyak tokoh terkemuka membingkai perdebatan ini dalam sudut pandang hak asasi manusia, bukan semata-mata hak perempuan atau feminisme.

"Ini lebih merupakan masalah identitas dan kebebasan individu ketimbang feminisme," kata pengacara yang memimpin gugatan ini, Fujiko Sakakibara.

"Kami ingin menunjukkan bahwa tradisi itu juga berdampak pada pria dalam tingkat yang sama seperti wanita," tuturnya.

Dari 18 penggugat yang sekarang terlibat dalam sengketa nama keluarga, setengahnya adalah laki-laki.

Salah satunya adalah figur terkemuka dari perusahaan perangkat lunak yang berbasis di Tokyo. Dia secara resmi mengambil nama belakang istrinya setelah menikah.

Penggugat lainnya adalah Seiichi Yamasaki. Pensiunan pegawai negeri sipil itu sudah menjalin hubungan dengan pasangannya selama 28 tahun. Mereka tidak meresmikannya dalam bentuk pernikahan karena menganggap keharusan mengubah nama belakang tidak adil.

Yamasaki yang kini berumur 71 tahun berharap generasi mendatang memiliki pilihan. Keterlibatan laki-laki lanjut usia ini juga menunjukkan bahwa ada keinginan serupa di antara orang-orang berumur lebih tua.

Desember lalu tiga gugatan, termasuk yang diajukan Yamasaki dirujuk ke Mahkamah Agung. Ini adalah sebuah langkah yang dipandang positif oleh tim pengacara penggugat karena mengindikasikan pengadilan akan membuat keputusan baru terkait aturan nama keluarga.

"Suara laki-laki telah membuat perbedaan besar," kata Naho. Dia mengakui pentingnya peran laki-laki dalam mengakhiri tradisi patriarki.

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya