Sejak 2018, Naho Ida, seorang praktisi komunikasi publik di Tokyo, mengambil tantangan untuk mengubah sudut pandang parlemen Jepang. Dia melobi anggota parlemen untuk mendukung pasangan memiliki nama belakang berbeda.
Naho bergerak melalui kelompok kampanyenya yang bernama Chinjyo Action.
Naho, yang lebih suka menggunakan nama depannya pada referensi kedua, menilai aturan tentang penamaan merupakan bukti subordinasi perempuan.
Ida adalah nama mantan suaminya. Ketika mereka menikah pada tahun 1990-an, suaminya merasa sangat malu untuk mengambil nama belakang Naho.
Baik orang tuanya maupun ayah-ibu suaminya setuju bahwa perubahan nama belakang itu harus ditanggung olehnya. "Saya merasa seperti diserang oleh nama keluarga baru saya," katanya.
Naho yang kini berusia 45 tahun berhenti menggunakan nama belakang Ida untuk urusan profesional. Nama itu menyertai nama depannya selama beberapa dekade terakhir.
Kini pernikahan kembali menghadapkan Naho pada nama belakang resmi ketiga yang tidak dia inginkan.
"Beberapa orang dengan senang hati menghadapi perubahan, tapi saya menganggapnya sebagai kematian sosial," kata Naho kepada BBC.