Dampak negatif pergantian nama terhadap karier adalah pendorong besar banyak perempuan mendambakan perubahan regulasi.
Prosedur pergantian nama yang berbelit merupakan salah satu pendorong lainnya.
Mereka yang memilih untuk tidak menikah karena regulasi ini juga menyebut konsekuensi buruk yang mereka hadapi. Di antaranya adalah sistem keperawatan rumah sakit di mana hanya pasangan yang menikah secara sah yang dapat membuat keputusan atas nama satu sama lain.
Dan faktor yang benar-benar menjadi perhatian banyak perempuan adalah identitas.
Mayoritas perempuan di Jepang, seperti halnya perempuan di Inggris dan AS, memilih menggunakan nama belakang suami mereka setelah menikah.
Izumi Onji, seorang ahli anestesi di Hiroshima, mengambil langkah tidak biasa dengan menceraikan suaminya untuk mendapatkan kembali nama belakangnya.
Langkah yang dilakukan Onji Ini disebut "perceraian kertas" karena setelah bercerai mereka masih hidup bersama.
"Nama itu menunjukkan siapa saya. Itu identitas saya," kata perempuan berusia 65 tahun itu dengan lugas.
Onji, yang juga menggugat aturan nama keluarga ke pengadilan, tahu dia adalah satu dari segelintir orang yang akan menggunakan regulasi baru.
Mayoritas perempuan Jepang, seperti banyak perempuan di Inggris dan AS, masih tetap akan menghapus nama keluarga mereka setelah menikah.
Hal itu setidaknya dikatakan Mihiko Sato (nama samaran). Ibu dua anak ini mengadopsi nama belakang suaminya. Ia menilai itu keputusan "alami" agar merasa "lebih bersatu" dengan pasangannya sebagai sebuah keluarga.
Banyak perempuan Inggris yang sudah menikah mungkin sependapat dengan Sato. Hampir 90% dari mereka meninggalkan nama belakang setelah menikah, menurut sebuah survei tahun 2016.
Kebiasaan mengubah nama belakang yang terus berlanjut mengejutkan para peneliti, terutama pada era kesadaran gender dan saat lebih banyak perempuan mengidentifikasi dirisebagai feminis.
Bahkan para perempuan yang tidak menganggap dirinya feminis, seperti banyak perempuan di Jepang, menilai tradisi lama tidak boleh digunakan untuk mengekang pilihan.
"Setiap orang berhak memilih nama belakangnya sendiri," kata Sato.
(Susi Susanti)