JAKARTA - Kota Lasem terletak di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Lasem kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang.
Kecamatan Lasem mempunyai luas wilayah mulai dari pesisir laut Jawa hingga ke selatan. Di sebelah timur terdapat gunung Lasem. Letaknya yang dilewati oleh jalur pantura, menjadikan kota ini sebagai tempat yang strategis dalam bidang perdagangan dan jasa.
Lasem disebut kota awal pendaratan orang Tiongkok di tanah Jawa dan terdapat perkampungan Tionghoa. Selain itu, Lasem juga dikenal sebagai kota santri, kota pelajar dan salah satu daerah penghasil buah jambu dan mangga. Selain itu hasil dari laut seperti garam dan terasi. Ada juga batik sebagai batik pesisir yang indah dengan pewarnaan yang merah hati.
Di Lasem tidak mengherankan melihat peranakan Tionghoa hilir mudik. Tapi ada hal lain yang jaramg diketahui orang. Di Lasem ditemukan seorang keturunan Belanda yang pernah jadi sekuriti sekolah dan kini jualan makanan di pasar.
Baca juga: Masa-masa Sulit Pangeran Diponegoro di Manado
Ia adalah Joko Daryanto Wahyono Putro atau biasa disebut Joko Londo. Sebelum pandemi Covid-19, ia bertugas mengatur arus lalu lintas di jalan depan SDIT Mutiara Hati Lasem.
Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Tulis Babad dalam Ruang Panas di Benteng Rotterdam
Arus lalu lintas di Pantura itu ramai, sehingga Joko yang bertugas sebagai anggota sekuriti dibuat sibuk saat jam-jam masuk atau pulang sekolah. Ia bertugas sebagai sekuriti selama 12 tahun.
Banyak orang yang tak menyangka kalau Joko memiliki darah Belanda. Apalagi dilihat cuma sekilas, sebab penampilannya yang kalem dengan bahasa Jawa yang fasih, akan membuat orang menganggap dia orang Jawa asli.
Tapi jika dicermati dengan seksama, garis keturunan Belanda masih terlihat. Perawakan badannya yang tinggi besar serta bentuk wajah yang relatif berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Yakni hidung mancung, rongga mata dalam serta dagu lancip.
"Kakek saya orang Belanda. Namanya Scoot William. Kebetulan dia semasa hidupnya justru membantu perjuangan rakyat Indonesia. Hingga akhirnya menikah dengan nenek saya, Soeparti Sastroadmodjo. Kata nenek, kakek dimakamkan di Pati," jelasnya.
Ia juga memiliki darah bangsawan dari orangtuanya. Hanya saja sang ayah Wahdjono Sastroadmojo, yang berasal dari Yogyakarta tak ingin membanggakan gelar kebangsawanannya. Sehingga dia memilih untuk bergabung sebagai anggota polisi (Brimob) di Semarang.
"Ayah sempat menjabat sebagai Kapolsek di Pancur, Rembang sekitar tahun 1980-an," kata dia. Sehingga, tentunya hal itu harus membuat Joko dan ketujuh saudaranya, terbiasa tinggal berpindah-pindah tempat.
Ayah Joko ingin keluar dari bangsawan dan mendatarkan diri menjadi Brimob. Lalu ditugaskan untuk berjuang dari Semarang sampai Rembang. Ayahnya juga pernah tugas di Timor Timur serta Irian Jaya.
Joko pernah bergabung di sebuah perusahaan kontraktor pembuatan kilang papan lapis. Karena itu, pria yang tinggal di Kampung Dorokandang, Lasem ini sudah terbiasa keluar masuk hutan di kawasan Kalimantan Barat hingga Serawak Malaysia.
"Saya memiliki warung makan bersama sang istri di Pasar Lasem,"ucapnya.
Meski sang kakek orang Belanda, namun dia justru berpesan agar anak keturunannya tidak belajar Bahasa Belanda. Sebab, mereka adalah orang Indonesia.
"Dulu katanya kakeknya pernah berpesan agar kita semua tidak usah belajar bahasa Belanda. Karena orang Indonesia. Makanya sampai sekarang tidak ada satupun dari saya dan saudara yang lain, yang bisa bahasa Belanda," tuturnya.