Ia menceritakan kakeknya dulu mempunyai tanah yang luas kemungkinan diberi warga karena tanah disitu dianggap angker. Menurut infonya luas tanah mulai rondan gandeng ke selatan, Sampson sampai SD 3 ke Barat sampai perempatan jamu Jago, sekitar 1 hektar. Ia menduga tanah itu dirampas oleh Belanda lalu dibagikan ke warga lain. Mereka berdua juga aktif sebagai penggiat sejarah di Yayasan Lasem, Kota Cagar Budaya (LKCB).
Pascaperang Jawa, pengikut Diponegoro menyebar ke berbagai penjuru karena dikejar-kejar pasukan kompeni. Metode perjuangan mereka akhirnya berubah. Para pengikut Diponegoro tersebut berjuang di wilayah pendidikan, yakni mendirikan surau, pesantren untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat sekitar. Sebagai penanda bahwa mereka ada bekas pasukan Diponegoro, maka di depan surau atau pesantren itu ditanami dua pohon sawo.
Peter Carey menuliskan dalam bukunya "Takdir dan Kuasa Ramalan" bahwa pengikut Diponegoro terdiri dari berbagai kalangan. Termasuk para ulama dan kiai. Rinciannya, 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu, serta 4 kiai guru.
Baca juga: Kisah Pangeran Diponegoro Disuguhi Roti Putih dan Kentang Welanda
Setelah pimpinan mereka ditangkap Belanda, para pengikut itu menyebar dan mendirikan basis-basis perlawanan dengan mendirikan surau dan pesantren. Lagi-lagi, sebelum menyebar, mereka terlebih dahulu bersepakat bahwa menandai tempat baru mereka dengan dua batang pohon sawo.
Sementara itu Gus Sidiq, ulama dri Lasem mengungkapkan bahwa pesantren Al Fahriyah, dan Pesantren Al Wahdah, Sumbergirang Lasem dan Langgar Tengah Ngemplak Lasem juga ada penanda dua pohon sawo. “Untuk yang Langgar tengah sekarang tinggal satu pohon,” ucapnya.
Satu diantara keturunan ke7 Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo di Kulonprogo, Yogyakarta pernah menjelaskan bahwa ciri-ciri sandi trah Diponegoro dan pengikut Diponegoro untuk komunikasi di rumahnya ditanam pohon Kemuning, atau pohon Sawo di depan rumah membuat sumur di sebelah kanan rumah dan di belakang rumah menanam pohon Kepel.
(Erha Aprili Ramadhoni)