Di seluruh negeri itu, kira-kira satu dari setiap tujuh rumah yang terkait dengan sektor ini menghasilkan ekspor hingga USD28 juta (Rp405 miliar).
Antara 2018 dan 2019, itu terdiri dari 12.000 ton cowslip, bilberry, dan tanaman lain yang diminati oleh pasar gastronomi dan farmasi asing.
"Datang dan lihatlah," kata Musaj.
Ia kemudian membawa saya ke lantai atas untuk menunjukkan kontribusi terbaru pada tonase besar itu.
Balkon di lantai atas rumahnya telah menguning dengan karpet kulit sapi yang mengering di udara musim panas yang hangat.
Seolah-olah dia telah membawa padang rumput yang sangat kaya ke rumahnya.
Saya memeriksa tangkai dengan cemas, tetapi Musaj tahu untuk memetik bunganya saja - ketika lot ini diikat menjadi selembar kain dan dibawa ke Kukës, tidak akan ada masalah.
Dan selanjutnya mereka akan pergi dari Kuks, melalui perantara dan eksportir, ke perusahaan-perusahaan di luar negeri yang haus akan primula veris berkualitas baik yang tumbuh liar.
Tunas kertas yang layu mungkin sepertinya bukan bahan untuk toner, serum, dan masker mata dengan julukan seperti "kecemerlangan" dan "penyempurnaan kulit", "mencerahkan" atau "anti-penuaan". Namun, nyatanya produk-produk yang kita lihat di majalah kecantikan bergantung pada cowslip yang dikeringkan di balkon Albania ini.
Bunga itu dimasukkan ke dalam minivan dan kemudian, dengan angin sepoi-sepoi, dihembuskan ke dunia.
"Kami pergi dari jam delapan pagi sampai jam enam sore pada musim ini," terang Musaj kepada saya.
Sepanjang perjalanan, banyak perempuan berada di lereng bukit, bersenjatakan pisau melengkung yang membuat mereka terlihat seperti bajak laut, dan mengenakan kain koleksi mereka sebagai celemek.
"Inilah yang kami lakukan dari Mei hingga September. Dari Oktober, salju turun dan tidak ada bunga. Prioritas kami kemudian adalah hewan,” terang suami Musaj, Xheladin.
"Kami suka di sini. Saya suka udara segar. Saya tidak ingin pergi ke warung pojok. Saya tidak suka Coca-Cola. Saya punya minuman versi organik saya sendiri - minuman yoghurt yang disebut dhallë,” ungkapnya.
Makan malam yang mereka sajikan menawarkan tampilan yang menggiurkan dari apa yang dimiliki keluarga tersebut: pai berwarna coklat kemerah-merahan, keju buatan sendiri, salad tomat, dan paprika panggang buatan sendiri.
"Bahkan kulit domba yang kau duduki," Musaj menunjuk ke bantal-bantal nyaman tempat aku bersandar.
"Itu domba kami,” lanjutnya.
"Dan rotinya. Toko roti terdekat sekitar dua jam perjalanan. Jadi, roti ini buatan rumah juga," tutur Musaj.
Misteri dari tas besar di dalam bus itu pun akhirnya terungkap. Roti sederhana itu adalah bonus atas tenaga yang mereka keluarkan, untuk dibawa dari kota ketika mereka memiliki kesempatan.
Senja sudah turun, dan dibalik kegelapan, sebuah pemandangan kuno mewujud.
Sederet kuda yang tampak lelah, dengan kantong nilon yang berisi penuh di kanan kiri mereka, dituntut oleh sejumlah pria yang menunduk dan tampak lelah dari padang rumput di atas desa itu.
"Mereka menghabiskan kemarin dan hari ini mencari bunga dan menghabiskan makam di tenda-tenda mereka di pegunungan,” terang Ardian.