"Mereka merasa terkekang karena corona, enggak bisa ke mana-mana," ujar pria keturunan Indonesia yang sudah lebih dari 40 tahun tinggal di Belanda tersebut.
Ia merasa bahwa kebijakan itu tak menganggu aktivitasnya dan menyebut kebijkan itu perlu guna meredam penyebaran penyebaran virus. Mau terkekang, enggak terkekang ya bagimana. Asalkan menurut peraturannya kita pakai mouth cap (masker). Di sini juga kalau mau masuk dalam ruangan harus pakai mouth cap. Tapi [aktivitas] terganggu, enggak ada," kata Hans.
Widya Boerma yang juga tinggal di Den Haag mengatakan bahwa demonstrasi yang terjadi di Belanda adalah "cara untuk mengungkapkan bahwa orang bosan dengan pembatasan yang diberlakukan pihak berwenang".
"Tetapi merusak mobil atau toko bukanlah cara untuk mengekspresikan diri Anda dengan cara yang benar," tegasnya.
"Saya tidak sepakat dengan [pengrusakan fasilitas umum] tetapi saya mengerti bahwa sangat sulit bagi warga untuk memahami kebijakan pembatasan karena membingungkan, terutama bagi anak-anak muda yang bosan, karena ada jam malam, jadi satu-satunya hiburan sekarang adalah di rumah karena tidak bisa pergi ke restoran atau bar," ujar Widya.
Kebijakan itu juga menyulitkan warga negara asing yang tak memiliki kode QR seperti yang dimiliki warga yang terdaftar di Belanda. Kode QR yang ada dalam sertifikat vaksin Indonesia misalnya tak terbaca oleh alat pemindai.
Akibatnya, warga negara asing kerap ditolak ketika masuk ke restoran, bar atau museum. Hal yang sama berlaku bagi warga Belanda yang tidak bersedia melakukan vaksinasi.
Pembatasan ini kemudian memicu gelombang demonstrasi yang diperkirakan akan terus terjadi selama pemberlakukan lockdown parsial. Kerusakan di Den Haag menyebabkan lima anggota polisi mengalami luka-luka. Kerusuhan juga pecah di Kota Urk dan di beberapa kawasan di Provinsi Limburg.
(Arief Setyadi )