KOREA Utara adalah satu di antara sedikit negara yang memberlakukan lockdown total dan superketat dalam menghadapi penyebaran pandemi Covid-19. Di saat negara-negara lain di hampir semua belahan bumi berkomitmen bahwa wabah mematikan ini tidak dapat dihadapi dengan berjalan sendiri, Korea Utara justru tetap dalam keputusannya, menghadapi endemi di negaranya dengan mengisolasi diri.
Korea Utara atau Democratic People's Republic of Korea (DPRK) sebuah negara kecil di Kawasan Asia Timur yang selama beberapa dekade tetap berkomitmen mempertahankan kepemilikan senjata nuklir pemusnah massal meski dikecam dunia internasional.
Lockdown total diberlakukan sejak 25 Januari 2020 tidak lama setelah virus corona mewabah di Wuhan, Tiongkok. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mempertahankan diri dari serangan virus yang telah menewaskan lebih dari 5 juta penduduk dunia tersebut.
Bukan tanpa sebab, jika negara berhaluan komunis ini disebut sebagai negara yang menerapkan lockdown super ketat di dunia.Hal itu lantaran dilihat dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintahnya.
Semua moda transportasi darat, laut dan udara ditutup. Oritas negara ini juga melakukan karantina bagi warga negara maupun warga asing yang baru bepergian dari luar negeri. Karantina bahkan dipusatkan di suatu tempat yang diawasi secara ketat.
Pergerakan setiap orang dilakukan secara ketat bahkan tidak segan untuk menembak siapa saja yang berusaha meninggalkan wilayah negara itu.
Selain itu, protokol kesehatan diberlakukan bagi warga dalam beraktivitas sehari-hari seperti menggunakan masker, deteksi suhu tubuh dan hand sanitizer hingga melarang adanya kerumunan orang.
Kebijakan penting yang dikendalikan langsung dari pusat hingga satuan wilayah terkecil di masyarakat juga turut diberlakukan.
Kebijakan itu antara lain dengan sigap membentuk Komite Kesehatan Rakyat Pusat atau Central People’s Committee for Health (CPCH) yang langsung dikendalikan secara terpusat dan terintegarsi oleh pemerintah pusat serta dan mendirikan pusat komando darurat untuk tanggap epidemi (ECCER) di tingkat provinsi, kabupaten, hingga wilayah paling bawah.
Dilansir dari jurnal yang dirilis oleh Department of Preventive Medicine, Hanyang University School of Medicine, Seoul, Ada tiga fase yang dilakukan Korea Utara dalam menangkis pandemi di negaranya yaitu :
Fase pertama berlangsung ketika respons awal pandemi yaitu antara Januari hingga Februari 2020 yang ditandai dengan penangguhan pariwisata asing, transisi kedalam kondisi darurat nasional, penutupan perbatasan, menarik personel dari kantor penghubung antar Korea, pembentukan Central People’s Committee for Health (CPCH), hingga perpanjangan masa karantina dari semua warga yang baru tiba dari luar negeri dari 14 hari menjadi 30 hari penuh.
Pada fase ini Korea Utara juga mengintruksikan semua diplomat negara yang memiliki kantor perwakilan, kedutaan maupun konsulat jendral untuk meninggalkan Korea Utara, termasuk para diplomat Indonesia dari Kedutaan RI untuk Korut di Pyongyang.
Berikutnya adalah fase kedua atau disebut juga fase mitigasi parsial yang berlangsung pada Maret hingga September 2020 dengan mengeluarkan berbagai kebijakan. Namun yang paling signifikan adalah kebijakan memblokir seluruh wilayah Kaesong dan menyatakan "darurat maksimum" dengan menerapkan Level khusus, Level 2 dengan memperketat pengawasan setelah seorang pembelot Korea Utara secara ilegal melintasi DMZ dan kembali ke Kaesong Korea Utara. Fase ketiga adalah fase manajemen melalui pengujian intensif dan penetapan Level Super-spesial yang berlangsung sejak 3 Desember 2020 hingga saat ini.
Dengan sistem isolasi yang sangat ketat tersebut itulah kemudian Korea Utara dalam laporannya kepada WHO pada 23 September 2021 menyatakan bahwa tidak satupun dari total 25.778.816 jiwa penduduknya terkonfirmasi kasus virus Covid-19.
Negara yang terletak di semenanjung Korea kawasan Asia Timur ini juga melaporkan kepada WHO bahwa mereka telah melakukan test kepada 40.700 orang dan hasilnya semua negatif. Test virus corona itu juga termasuk dilakukan kepada 94 orang yang mengalami influenza atau gejala lain dan 573 petugas medis.
Namun, banyak ahli yang meragukan laporan tersebut. Keraguan itu didasari oleh kondisi rendahnya kualitas sistem kesehatan dan kurangnya pasokan medis yang kronis dalam menangani epidemi. Bahkan situasi ini, justru dapat menimbulkan akibat fatal sekaligus mengkhawatirkan. Keraguan lainnya muncul lantaran eratnya hubungan Korea Utara dengan Tiongkok, negara yang disebut sebagai asal munculnya virus corona.
Meski mengklaim zero kasus terkonfirmasi Covid-19, tidak membuat Korea Utara luput dari masalah serius. Kebijakan menutup diri secara total ditambah situasi sulit akibat pandemi secara global serta sanksi ekonomi internasional membuat negara ini justru kian terpuruk dengan adanya ancaman kelaparan hebat. Sehingga bukan ancaman Covid-19 akan tetapi bahaya kelaparan akibat terisolasi pun menjadi ancaman yang lebih mengerikan.
Apalagi, jauh sebelum pandemi pun, seperti dikutip dari Asia and the Pacific Regional Overview of Food Security and Nutrition 2020 yang dirilis WFP, FAO, UNICEF and WHO pada 2021, negara yang berada di Semenanjung Korea ini kerap dilanda isu kelaparan, namun sikap menutup diri terhadap dunia luar sudah terlanjur menjadi pilihan.
Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan ancaman krisis pangan dan kelaparan yang dihadapi warga Korea Utara. Anak-anak dan kaum lanjut usia paling rentan kelaparan. Banyak keluarga di Korea Utara bahkan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Korea membutuhkan setidaknya 1 juta ton beras untuk memasok kebutuhan pangan warga negaranya.
Tomas Oeja Quintana, Utusan Khusus PBB yang ditugaskan mengawasi situasi hak asasi manusia di Korea Utara, dalam laporan kepada Majelis Umum PBB, pada Oktober 2021 menyebutkan bahwa tekanan berat dialami sektor pertanian Korea Utara sehingga berdampak terhadap penurunan produksi pangan.
Sektor tanaman pangan ikut terdampak penurunan impor pupuk dan barang pertanian lain dari Tiongkok karena sanksi PBB dan komunitas internasional terkait dengan program nuklir.
Situasi yang sulit membuat Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un bahkan sempat menangis dan menyampaikan permintaan maaf kepada ribuan pendukungnya. "Rakyat kita menaruh kepercayaan setinggi langit dan sedalam laut pada saya, tetapi saya telah gagal untuk selalu memenuhinya dengan memuaskan. Saya benar-benar minta maaf untuk itu.” tutur Kim Jong-un sambil menyeka air mata. Sebuah kesempatan yang menurut pengamat sebagai sebuah peristiwa langka.
Pengakuan kegagalan menanggulangi endemi Covid-19 itu disampaikannya dalam pidato resmi saat menghadiri ulang tahun partai buruh yang ke-75 tahun sebagaimana dipublikasikan oleh kantor berita resmi Korea Utara KCNA pada 12 Oktober 2020.
Para pengamat berpendapat bahwa pidato emosional menunjukkan Kim merasakan tekanan pada kepemimpinannya terkait dengan Covid-19 dan sanksi nuklir. Korea Utara memang menjalin hubungan perdagangan dengan Tiongkok namun volume transaksi perdagangan dengan mitra ekonomi terbesarnya ini jatuh secara dramatis sejak Korea Utara mengeluarkan kbijakan penutupan perbatasan sebagai aksi tanggap terhadap pandemi, meskipun Pyongyang bersikeras belum mencatat satu pun kasus virus.
Selain bencana non alam seperti Covid-19, seprti dikutip dari laporan media resmi pemerintah Korea, KCNA badai topan Maysak ke-9 di negara itu telah menyebabkan kondisi darurat, melumpuhkan sistem transportasi dan menghancurkan lebih dari 2.000 rumah, membuat banjir gedung-gedung dan jalan-jalan umum dan menyebabkan runtuhnya 59 jembatan. Bencana alam yang berlangsung pada pada September 2020 itu terus berdampak hingga saat ini memperburuk situasi akibat kebijakan lockdown ketat yang dilakukan Korea Utara.
Meski dalam kondisi terhimpit, Korea Utara tetap tegas menolak bantuan vaksin dari PBB dan COVAC asosiasi produsen vaksin dan juga negara-negara lainnya. Korea Utara menyatakan keraguan atas keampuhan vaksinasi Covid-19 seiring dengan banyaknya lapor di AS dan Eropa di mana individu memiliki reaksi negatif terhadap suntikan vaksinasi virus corona.
Pada Juli 2021, Korea Utara menolak pengiriman sekitar dua juta dosis suntikan AstraZeneca dari Inggris, dengan alasan kekhawatiran atas potensi efek samping, sebuah think-tank Korea Selatan yang terkait dengan dinas intelijen negara itu mengatakan. Penolakan juga disampaikan oleh Korea Utara ketika Rusia bermaksud mengulurkan bantuan vaksin Sputnik yang diproduksinya.
Edwin Salvador, perwakilan WHO untuk Korea Utara mengatakan sudah mulai mengirimkan bantuan dan pasokan medis Covid-19 melalui pelabuhan Dalian, Tiongkok pada 7 Oktober 2021. Dikutip dari Reuters, WHO tidak langsung mengirimkan bantuan ke Korea Utara secara langsung dan sebagaimana diketahui Tiongkok merupakan sekutu tradisional yang setia bagi Korea Utara.
Sulitnya akses bagi PBB menembus Korea Utara menyebabkan PBB mmasukkan Korea Utara dari daftar negara penerima bantuan Korea Utara juga tidak dapat menerima bantuan kemanusiaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun depan. Pejabat PBB mengaku sulit melakukan pemeriksaan lapangan dan pengelolaan serta pengawasan proyek karena sikap menutup diri Korea Utara.
Sikap kemandirian Korea Utara tidak lepas dari Ideologi Juche yang telah ditanamkan oleh founding father Korea Utara Kim II Sung kepada jiwa rakyat Korea Utara sejak Kim Il Sung sejak era 1950-an. Juche bagi rakyat Korea Utara merupakan wujud dari sosialisme nasionalis khas Korea Utara yang berjuang untuk mencapai kemerdekaan dan self-reliance di bidang politik, ekonomi dan keamanan. Dalam menerapkan kepemimpinan di negara ini, bahwa Juche sangat penting untuk hubungan luar negeri dan merupakan pembenaran untuk semua kebijakan yang diambil. Ideologi Juche sendiri secara konseptual mengandung pengertian yaitu otonom dan independen (Self Reliance) ideologi ini dipopulerkan pertama kali oleh Kim II Sung pada tahun 1955.
Melakukan lockdown total sebagai tindakan pengamanan dan penyelamatan terhadap warga negaranya, Pemerintah Korea Utara tentunya tetap membutuhkan bantuan negara lain. Tiongkok bersama sekutu tradisionalnya Rusia, sebenarnya telah menunjukkan perhatian terhadap Korut dengan mengusulkan agar Dewan Keamanan PBB yang memiliki anggota 15 negara segera mencabut sanksi terhadap Korea Utara.
Hal itu bertujuan untuk meningkatkan mata pencaharian warga negara Korea Utara yang selaama ini terisolasi. Kedua negara tersebut juga mendesak agar Korea Utara diizinkan mengimpor minyak olahan. Selan itu agar larangan ekspor makanan laut, patung, dan tekstil dari Korea Utara yang diberlakukan PBB sejak 2019, dicabut.
Namun, Korea Utara sendiri tetap bersikeras dengan kepemilikan senjata nuklir meskipun harus menghadapi sanksi internasional.
Sejarah suram masa lalu perang Korea yang berlangsung pada 1950 sampai dengan 1953 telah meninggalkan pengalaman suram yang tidak terlupakan bagi negara ini. Amerika Serika yang mendukung Korea Selatan waktu itu membombardir Korea Utara dengan sekitar 635.000 ton bom. Jumlah ini bahkan lebih banyak dari bom yang dijatuhkan pasukan tentara Amerika Serikat di kawasan Pasifik selama Perang Dunia II. Jumlah itu termasuk napalm sebanyak 32.000 ton
Korea Utara, yang saat itu berpenduduk 9,6 juta jiwa harus kehilangan 1,3 juta warga sipil dan tentara dalam perang horizontal tersebut. Sementara itu, Korea Selatan kehilangan lebih dari 3 juta warga sipil dan 225.000 tentara dari total populasi 20,2 juta pada tahun 1950.
Kerugian yang diderita akibat Perang Korea itulah menjadikan Korea Utara menjadi salah satu negara yang memiliki persenjataan nuklir sebagai sebuah kebijakan untuk membela diri (self defense). Kebijakan itu tetap dipertahankan hingga kini meski mendapatkan sanksi ekonomi dai AS dan PBB dan kian diperparah akibat terdampak pandemi Covid-19 secara global. Yaomi Suhayatmi
Penulis: Yaomi Suhayatmi
(Khafid Mardiyansyah)