Polisi mengatakan beberapa petugas menderita luka-luka karena lemparan batu, tetapi karena pengunjuk rasa telah kehilangan nyawa, atau berakhir di rumah sakit, tanggapan polisi dipandang sangat tidak proporsional.
Di media sosial, politisi menyampaikan simpatinya, mengunggah foto rakyat sambil meminta perubahan. Ini sebagian besar hanya mengilhami lebih banyak kemarahan. Bukankah para politisi itu sendiri yang menyebabkan kondisi Sri Lanka seperti ini?
Namun, ketika protes nasional menuntut pemecatan presiden dan kelompoknya, mereka tetap keras kepala. Penghinaan yang mereka rasakan terhadap kehendak publik terbukti dalam kesepakatan yang menurut banyak orang terus meracuni politik negara kepulauan itu.
Para pemimpin yang sama yang dituduh mendorong Sri Lanka ke jurang kehancuran, bersikeras bahwa hanya mereka yang dapat menyelamatkan negara itu, dan kebijakan yang mereka buat mendapat kritik tajam.
Sekarang ada desakan, misalnya, untuk mengirim lebih banyak orang Sri Lanka ke luar negeri untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pengemudi, dan mekanik di Timur Tengah. Mereka diharapkan bisa mengirimkan penghasilannya.
Ini mungkin hanya memperdalam kesulitan banyak warganya yang paling rentan, karena orang-orang Sri Lanka yang miskin tidak punya harapan untuk menemukan pekerjaan di dalam negeri, sehingga terpaksa meninggalkan keluarga mereka ke negara-negara di mana mereka memiliki sedikit perlindungan dan sedikit agensi.
Seorang antropolog menggambarkan visi Sri Lanka ini dengan istilah yang gamblang: "negara vampir".
Di malam hari, pemadaman listrik akan terjadi lagi, dan Anda bertahan hidup dengan makan malam yang semakin berkurang setiap minggunya.