Pengakuan Serdadu Myanmar yang Membunuh dan Rudapaksa Warga Sipil, Diperintahkan Atasan

Susi Susanti, Jurnalis
Sabtu 23 Juli 2022 03:05 WIB
Pengakuan serdadu Myanmar yang membunuh dan rudapaksa warga sipil (Foto: BBC)
Share :

YANGON - Sejumlah serdadu militer Myanmar mengaku telah membunuh, menyiksa, dan memerkosa warga sipil dalam wawancara eksklusif dengan BBC. Untuk pertama kalinya, serdadu-serdadu ini memberi penjelasan rinci tentang berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mereka sebut diperintahkan dari atasan.

"Mereka memerintah saya untuk menyiksa, menjarah, dan membunuh orang tidak bersalah,” terang Maung Oo, dikutip BBC.

Dia menduga dirinya direkrut militer Myanmar untuk bertugas sebagai penjaga. Akan tetapi, dia justru menjadi bagian dari batalion yang membunuh sejumlah warga sipil yang bersembunyi di sebuah biara pada Mei 2022.

"Kami diperintah mengumpulkan semua pria dan menembak mati mereka. Yang paling menyedihkan adalah kami harus membunuh orang lansia dan seorang perempuan,” terangnya.

Pengakuan enam serdadu, termasuk seorang kopral, ditambah sejumlah korban mereka memberikan pemahaman yang langka tentang bagaimana militer Myanmar berupaya mempertahankan kekuasaan.

Baca juga: Militer Myanmar Lancarkan Serangan Berdarah, 2 Relawan Hilang 

Semua nama dalam artikel ini telah diubah untuk melindungi identitas mereka. Para serdadu yang baru-baru ini membelot, berada dalam perlindungan sebuah unit Angkatan Pertahanan Rakyat (PDF), sebuah jaringan kelompok milisi sipil yang berjuang untuk mengembalikan demokrasi.

Baca juga: Tentara Myanmar Diduga Bantai 11 Warga Sipil, Bakar Korban Hidup-Hidup

Diketahui, militer merebut kekuasaan melalui kudeta terhadap pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis, tahun lalu. Kini, militer berupaya menumpas pemberontakan bersenjata warga sipil.

Pada 20 Desember tahun lalu, tiga helikopter mengitari Desa Yae Myet di Myanmar bagian tengah guna menerjunkan sejumlah serdadu. Mereka diperintahkan melepas tembakan.

Setidaknya lima orang berbeda, yang berbicara terpisah satu sama lain, memberitahu BBC apa yang terjadi saat itu. Menurut mereka, militer mengerahkan tiga regu berbeda. Setiap regu menembak pria, perempuan, dan anak-anak tanpa pandang bulu.

"Saat itu perintahnya adalah tembak apapun yang kamu lihat," kata Kopral Aung di sebuah lokasi rahasia di hutan terpencil Myanmar.

Dia menuturkan bahwa beberapa orang bersembunyi di lokasi yang mereka kira tempat aman. Namun, ketika serdadu mendekat, mereka "mulai berlari dan kami menembaki mereka".

Kopral Aung mengaku regunya menembak dan menguburkan lima pria.

"Kami juga diperintahkan membakar setiap rumah bagus dan layak di desa," tuturnya.

Para prajurit berkeliling di sekitar desa sembari membakar rumah-rumah dan berteriak, "Bakar! Bakar!"

Kopral Aung membakar empat bangunan. Mereka yang diwawancara mengaku total sekitar 60 rumah yang dibakar.

Sebagian besar penduduk desa telah kabur, tapi tidak semuanya. Sebuah rumah di tengah desa tidak dihuni.

Thiha mengaku dirinya bergabung dengan militer, lima bulan sebelum penggerebekan terjadi.

Seperti banyak prajurit lainnya, dia direkrut dari masyarakat dan mengaku belum mendapat pelatihan. Kalangan setempat menyebut para rekrutan baru ini Anghar-Sit-Thar atau "tentara bayaran".

Pada saat itu dia dibayar dengan upah yang layak, sebesar 200.000 Khat Myanmar atau sekitar Rp1,6 juta per bulan. Thiha mengingat dengan jelas apa yang terjadi di rumah itu.

Thiha mengaku bergabung dengan militer untuk memperoleh uang, namun dirinya terkejut dengan tindakan yang terpaksa dia lakukan dan kekejian yang dia saksikan.

Dia menyaksikan seorang gadis remaja dikerangkeng di balik jeruji besi, di rumah yang akan dibakar.

"Saya tidak bisa lupa teriakannya, saya masih bisa mendengarnya di telinga saya dan mengenangnya di dalam hati," paparnya.

Ketika dia mengadu kepada kaptennya, dia menjawab, "Saya sudah bilang ke kamu, bunuh semua yang kita lihat".

Mendengar itu, Thiha menembakkan percikan api ke dalam rumah.

Kopral Aung juga berada di sana dan mendengar tangisan gadis remaja tersebut saat dia dibakar hidup-hidup.

"Menyayat hati saat mendengarnya. Kami mendengar suara dia berulang kali selama sekitar 15 menit saat rumah itu dilalap api," kenangnya.

BBC kemudian melacak keluarga gadis remaja tersebut. Salah satu kerabatnya, U Myint, menjelaskan bahwa gadis itu mengalami gangguan jiwa dan ditinggal di rumah selagi orang tuanya bekerja.

"Dia mencoba untuk kabur tapi mereka menghentikannya dan membiarkan dia terbakar," terangnya di depan puing-puing rumah tersebut.

Dia lantas memaparkan nasib sekelompok perempuan muda yang mereka tangkap di Yae Myet.

Seorang perwira, sebagaimana dikenang Thiha, menyerahkan perempuan-perempuan ini kepada bawahannya dan berkata, "Lakukan yang kalian inginkan."

Menurut Thiha, para serdadu memerkosa perempuan-perempuan muda tersebut. Namun, dia mengaku tidak ikut-ikutan.

"Saat mereka menangkap perempuan muda, mereka akan berkata, 'ini karena kamu mendukung PDF' saat mereka [memerkosa] perempuan-perempuan ini," jelas Thiha.

Kami melacak keberadaan perempuan-perempuan itu dan menemui dua di antara mereka.

Pa Pa dan Khin Htwe mengatakan mereka berjumpa dengan sekelompok serdadu selagi berusaha kabur. Para perempuan ini bukan berasal dari Yae Myet. Mereka ke sana untuk mendatangi seorang penjahit.

Walau bersikeras bukan anggota PDF atau dari Yae Met, mereka ditahan di sebuah sekolah selama tiga malam. Setiap malam mereka dilecehkan secara seksual berulang kali oleh sejumlah serdadu yang mabuk.

"Mereka menutup wajah saya dengan sarung dan mendorong saya sampai jatuh. Mereka melepaskan pakaian saya dan memerkosa saya. Saya berteriak saat mereka memerkosa saya," jelas Pa Pa.

Dia memohon agar serdadu-serdadu itu berhenti, tapi mereka memukuli kepalanya dan mengancamnya dengan todongan senjata api.

"Kami harus tunduk tanpa melawan karena kami takut akan dibunuh," kata Khin Htwe, adik Pa Pa, seraya terbata-bata.

Para perempuan ini terlalu takut melihat para pemerkosa dengan jelas, tapi mereka ingat melihat beberapa tidak memakai seragam dan sebagian lainnya mengenakan seragam militer.

Sedikitnya 10 orang tewas akibat aksi kekerasan di Yae Myet dan delapan perempuan dilaporkan diperkosa dalam jangka waktu tiga hari.

(Susi Susanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya