Jepang terus memperkuat militer de factonya, yang disebut Pasukan Bela Diri Jepang, terutama karena China menjadi semakin kuat dan asertif dengan tetangga-tetangganya selama sekitar satu dekade ini.
Tetapi pengekangan konstitusional yang diberlakukan sendiri oleh Jepang itu membuat kekuatan militernya tidak sesuai dengan kemajuan ekonominya. Meskipun Jepang adalah ekonomi terbesar ketiga di dunia, pengeluaran pertahanannya hanya di peringkat kesembilan.
Recana ini bisa berubah dalam waktu dekat. Rencana baru Jepang akan meningkatkan pengeluaran pertahanan menjadi dua persen dari PDB Jepang, naik dari tradisi pengeluaran satu persen dalam lima tahun mendatang. Jepang nantinya hanya berada di belakang AS dan China dalam pengeluaran total untuk pertahanan kecuali ada perubahan lain dalam peringkat global.
Salah satu aspek paling signifikan dari perubahan pertahanan baru Jepang itu adalah otorisasi dari apa yang disebut Tokyo sebagai “kemampuan menangkis serangan” atau kemampuan untuk menghantam pangkalan di wilayah musuh.
Akuisisi senjata semacam itu telah lama kontroversial, karena konstitusi Jepang melarang senjata yang dianggap bersifat ofensif, bukan defensif. Alih-alih mengakuisisi senjata semacam itu, Jepang secara historis mengandalkan pertahanan rudal, serta kemampuan tembak sekutunya, AS.
Namun, NSS Jepang yang diperbarui menyatakan kemampuan menangkis serangan merupakan “langkah minimum yang diperlukan untuk membela diri.”
Dengan memperoleh kemampuan semacam itu, Jepang dapat menangkis serangan musuh, lanjut dokumen itu, seraya menyatakan bahwa serangan pendahuluan “tentu saja … tetap tidak diizinkan.”
Sebagai bagian dari rencananya, para pejabat Jepang mengatakan Tokyo bermaksud membeli ratusan rudal jelajah Tomahawk buatan AS, yang memiliki daya jelajah hingga 2.500 kilometer.
(Fakhrizal Fakhri )