Beberapa orang Iran berspekulasi bahwa jika para siswi diracuni sebagai "pembalasan" atas peran mereka dalam kerusuhan. Media sosial dibanjiri dengan video yang menunjukkan siswi merobek jilbab mereka dan meneriakkan slogan-slogan anti kemapanan.
Yang lain berspekulasi bahwa peracunan itu adalah ulah kelompok garis keras yang ingin "meniru" Taliban di Afghanistan dan kelompok militan Islam Boko Haram di Nigeria dengan meneror para orang tua agar berhenti menyekolahkan anak perempuan mereka.
"Apakah Boko Haram datang ke Iran?" tanya mantan Wakil Presiden Mohammad Ali Abtahi dalam sebuah postingan Instagram.
Politisi reformis itu juga memperingatkan bahwa "ekstremis akan menginterpretasikan batas-batas pemerintahan dan agama demi keuntungan mereka".
Para pemimpin Iran secara tradisional menolak kritik terhadap pembatasannya terhadap perempuan, seperti kewajiban jilbab, dan malah membual tentang jumlah perempuan yang masuk universitas. Tetapi jika gadis-gadis muda tidak menyelesaikan sekolahnya, kuliah hanyalah mimpi.
Komentar seorang siswi, yang mengatakan dia telah diracun dua kali, pada pertemuan dengan gubernur Qom awal bulan ini menyoroti betapa kabur dan menyesatkannya beberapa pernyataan dari pihak berwenang.
"Mereka [pejabat] memberi tahu kami: 'Semua baik-baik saja, kami telah melakukan penyelidikan.' Tetapi ketika ayah saya bertanya di sekolah saya, mereka mengatakan kepadanya: 'Maaf, CCTV telah mati selama seminggu dan kami tidak dapat menyelidikinya,'" katanya.
"Dan ketika saya diracun untuk kedua kalinya pada Minggu (26/2/2023), kepala sekolah berkata: 'Dia memiliki penyakit jantung, itu sebabnya dia dirawat di rumah sakit.' Tapi aku tidak punya penyakit jantung!,” ungkapnya.
(Susi Susanti)