Penjelasan demikian perlu disampaikan secara tegas, agar FIFA sebagai otoritas penyelenggara World Cup dapat mencari lokasi alternatif di negara lain untuk tim Israel bertanding. Itu semestinya merupakan tugas FIFA, asalkan pemerintah bisa memberikan pemahaman secara canggih dan meyakinkan tentang penolakan masyarakat Indonesia terhadap rencana kehadiran tim U-20 Israel.
Justru di sini kapasitas diplomasi kita sedang diuji di hadapan mata jutaan rakyat Indonesia dan komunitas internasional. Tapi di sini pula muncul peluang terbaik, sebetulnya, bagi Kemlu RI untuk menjalankan bukan saja politik luar negeri yang bebas aktif, tetapi lebih jauh dari itu, politik luar negeri yang assertive―mampu mengambil inisiatif untuk membalikkan polemik yang tengah bergulir ini menjadi kesempatan emas untuk berperan secara lebih substantif dan efektif dalam upaya meredakan ketegangan Israel-Palestina.
Dengan kapasitas Indonesia saat ini, semua ingredients untuk itu sudah tersedia, tinggal menunggu kecanggihan diplomasi pemerintah. Sebab di era Soekarno, pemerintah Indonesia tak sudi tunduk pada kemauan bangsa-bangsa kolonial. Soekarno bahkan menggemparkan Sidang Umum PBB ketika ia memperkenalkan Pancasila, bagaikan seorang mahaguru yang sedang mengajari bangsa-bangsa untuk To Build the World Anew!
Di era Soeharto pun pamor politik luar negeri Indonesia sangat kuat, bahkan IGGI dibubarkan, meski kemudian negara kita diutak-atik oleh IMF. Tapi kecanggihan diplomasi Indonesia diakui dunia ketika menjadi interlocutor konflik Kamboja dan Co-host Paris International Conference on Cambodia.
Kecanggihan diplomasi seperti itu sangat dirindukan di masa sekarang. Tak perlu kita timid―seolah tak berani tampil sesuai kekuatan dalam negeri yang justru diakui dunia. McKinsey memprediksikan Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar ke-7 di dunia setelah tahun 2030. Tapi benar apa kata Soekarno, “Kekurangan kita adalah kurang percaya diri.”
Rakyat Indonesia sedang menilai, sejauh mana pemerintah konsisten menegakkan kedaulatan negara dan bangsa sehubungan dengan rencana kehadiran tim U-20 Israel. Juga sejauh mana pemerintah bisa membalikkan polemik ini menjadi kesempatan untuk meningkatkan pamor politik luar negeri kita di mata dunia.
Sebab kepatuhan kita pada konstutisi bukan hanya agar “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, melainkan lebih jauh dari itu, “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Saya membayangkan, andaikan saja Soekarno masih hidup, mungkin semua menteri Kabinet akan dipanggil dan disemprot, atau mungkin juga ada yang sudah dipecat, karena tak mampu tegas seperti dia.
Dalam konteks diplomasi internasional di masa sekarang, suatu negara boleh saja berseberangan dengan negara lain dalam hal-hal tertentu, tetapi tetap bisa bekerja sama dalam banyak bidang lainnya. Karena kepentingan dalam negeri dan kedaulatan menjadi acuan yang konsisten ditegakkan.
Hubungan Indonesia-Israel pun demikian. Dalam bidang teknologi, misalnya, satu tim profesional teknologi yang beranggotakan enam orang dari Israel-Asia Center yang dipimpin oleh Rebecca Zeffert berkunjung ke Jakarta selama enam hari pada Juli 2022 untuk mengeksplorasi peluang investasi, bisnis teknologi, dan inisiatif dampak sosial.
Israel-Asia Center juga mengadakan diskusi online dengan hampir 100 peserta dari Israel dan Indonesia, tapi di situ tak ada lagu Hatikva dinyanyikan, tak ada bendera Israel dikibarkan.