Sementara itu, lebih dari separuh habitat gajah yang cocok telah hilang di Bangladesh, Thailand, Vietnam, dan Sumatera di Indonesia. Bhutan, Nepal, dan Sri Lanka juga mengalami penurunan yang signifikan – sebagian besar di daerah di mana gajah masih berkeliaran hingga saat ini.
“Memulihkan habitat ini tidak berarti menjaganya tetap statis. Sebaliknya kita perlu lebih memahami peran masyarakat (petani pedesaan, masyarakat adat) yang sering terpinggirkan dalam sistem ekonomi yang telah diberlakukan,” lanjutnya.
“Kita juga perlu memperhitungkan bagaimana dinamika ini dapat dipertahankan secara berkelanjutan, mengingat ukuran populasi manusia saat ini dan di masa depan serta perubahan iklim,” ujarnya.
Peneliti menemukan adanya percepatan hilangnya habitat gajah sejak tahun 1700, yang bertepatan dengan perluasan kolonisasi Eropa di wilayah tersebut.
Selama masa ini, penebangan, pembangunan jalan, ekstraksi sumber daya, dan penggundulan hutan meningkat, dan pertanian menjadi lebih intens di lahan yang mungkin menampung satwa liar.
Era itu juga menyaksikan “sistem nilai baru, kekuatan pasar, dan kebijakan tata kelola” menjangkau ke luar kota-kota Eropa hingga ke hutan-hutan Asia – mempercepat hilangnya habitat gajah dan fragmentasi spesies, demikian temuan studi tersebut.
“Pada 1700 seekor gajah secara hipotetis mungkin dapat melintasi sebanyak 45% area yang 'cocok' tanpa gangguan, tetapi pada tahun 2015 ini turun menjadi hanya 7,5%,” kata para penulis.