Tafakur Anies, Puasa Publisitas dan Marcus Aurelius

Opini, Jurnalis
Rabu 07 Juni 2023 10:09 WIB
Anies Baswedan/Foto: Okezone
Share :

 

JAKARTA - Jujur, saya sangat terkejut saat mendengar permintaan Mas Anies Baswedan malam itu. Permintaan yang saya dengar darinya beberapa hari menjelang Ramadhan. Saya bahkan sempat meminta Mas Anies mengulangi, untuk meyakinkan bahwa apa yang saya dengar benar adanya.

“Iya, saya minta Mas Wid menemani saya. Dua pekan saja di Ramadhan. Kita kunjungi masjid-masjid di Tanah Jawa ini. Cukup satu mobil, jangan sampai berkonvoy, iring-iringan. Dua mobil pun kebanyakan. Kita gantian nyetir. Kita tarawih dan bermalam di masjid berbeda setiap malam. Tak perlu memberitahu pengurusnya kalau kita mau datang, karena kita sendiri tak punya rencana pasti mau tarawih di mana pada malam apa. Jangan bawa kameraman, apalagi wartawan. Kita akan berjalan dalam, dan mencari keheningan,” kata Anies Baswedan, menjawab dengan panjang ‘daftar’ konfirmasi saya.

 BACA JUGA:

Namun penjelasan sepanjang itu pun masih membuat saya bingung. Baiklah kalau niat itu datang dari Widdi Aswindi untuk dirinya sendiri. Atau niat Asep Surasep, Dadap, Waru atau Fulan bin Fulan, untuk i’tikaf selama dua pekan Ramadhan, mengunjungi masjid-masjid di Tanah Jawa. Tak harus di masjid besar dan bersejarah. Tapi ini datang dari dan untuk Anies Baswedan. Itu, menurut saya dan tim pendukungnya selama ini, jelas sebuah persoalan.

Ini bukan soal derajat, atau apalah, yang jelas sama di mata Allah. Namun bayangkan, seorang bakal calon presiden pada Pilpres mendatang, hanya setahun berselang di depan, meminta saya memfasilitasinya untuk berpuasa dari publisitas. Puasa publisitas itu justru dilakukan di bulan Ramadhan! Tak harus menengok sejarah terlalu jauh ke belakang. Bukankah kita ingat, mendiang Harmoko, menteri penerangan yang sempat menjadi pembantu favorit Pak Harto dalam kabinetnya, justru senantiasa menjadikan Ramadhan sebagai momen besarnya untuk publisitas?

 BACA JUGA:

Dengan tajuk yang hingga kini masih dipakai para pejabat setelahnya, “Safari Ramadhan”, Harmoko mendatangi satu demi satu masjid dan pesantren di seantero Indonesia, menguatkan profil diri dan kementeriannya di mata publik. Lha ini, di tahun politik, di momen yang semua politisi gunakan untuk pencitraan, justru Anies meminta saya membantunya berpuasa publisitas? Opo meneh?

Saya tidak segera mengiyakan permintaan itu. Saya bilang, saya minta waktu untuk berpikir. Bukan hanya karena saya merasa tak punya banyak peluang untuk menemaninya selama dua pekan penuh, mengingat tugas dan kesibukan saya. Saya merasa harus mencari argumentasi untuk sebisa mungkin mematahkan keinginan tersebut.

Belum lagi saya pun melihat bahwa ke depan—mungkin di bulan Puasa ini—akan banyak kegiatan Koalisi Perubahan yang pasti melibatkan Anies. Semua itu tentu akan bertabrakan dengan niat yang Anies lontarkan kepada saya itu.

“Kita bertemu sesegera mungkin, Bro. Khusus untuk membahas soal tadi,” kata saya. Anies tersenyum, sedikit menggeleng yang tak bisa saya yakini apa maknanya.

Malam itu, dengan kepala yang pepak dipenuhi sekian banyak pertanyaan, saya sulit memejamkan mata. Bukan iseng bila pada akhirnya saya memasuki kamar perpustakaan pribadi saya, membuka-buka sekian banyak buku, melontarkan pertanyaan kepada Google dan Bing di gawai saya. Saat menjelang dini hari, saya akhirnya merasa bisa memahami keinginan sahabat saya itu. Dengan perasaan yang lebih tenang, saya pun bisa beristirahat dan memejamkan mata, setelah bertahajud dalam hitungan rakaat yang minimal.

Usai shalat Subuh, kemengertian saya akan niat Anies itu segera berubah menjadi keinginan untuk mendukungnya dengan daria. Semalam saya sempat merenungkan kata-kata filsuf terkemuka Aristoteles. “Hidup yang tak ditafakuri,” kata murid Plato itu,” adalah kehidupan yang tak layak dijalani.” Benar adanya.

Mungkin saja, Anies merasa puasa dan atmosfernya menjadi waktu yang tepat untuk merenung. Untuk bertafakur. Laku yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Sabda Rasulullah SAW tentang tafakur itu dijelaskan dalam kitab “Rahasia Sufi”, terjemahan Indonesia dari kitab “Siral-asrar Maa Yahtaj Ma’al Abrar” karangan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Inti hadits tersebut berbunyi:

“Tafakur sesaat itu lebih baik dari satu tahun ibadah”, kemudian beliau bersabda lagi, “Tafakur sesaat itu lebih baik dari 70 tahun ibadah”, dan beliau bersabda lagi, ”Tafakur sesaat itu lebih baik dari seribu tahun ibadah”.”

Barangkali Anies ingin mencari keheningan (kesunyatan—Jawa), agar ia bisa mengerti, dan dengan pasti meraih dan menggenggam semangat zaman atau Zeitgeist generasinya sendiri. Semua itu bisa jadi ia yakini akan lebih mulus manakala dilakukan di bulan Puasa, dengan menutup sebanyak mungkin peluang yang akan mengendalanya. Wartawan dan publisitas tadi.

Mungkin pula Anies ingin memulai langkah dengan merenung dan mengerti dirinya sendiri, serta perannya dalam semesta dan kehidupan. Dan bukan hanya Socrates yang bilang,”Gnothi seauton, kenalilah dirimu sendiri.” Nabi Muhammad bahkan menegaskan bahwa pengenalan diri itu merupakan langkah awal untuk mengenali Tuhan. “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu. Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” sabda Nabi SAW dalam hadits beliau.

Namun, apa pun niat awal Anies untuk melakukan refleksi, saya kemudian sadar, itulah yang terbaik harus ia lakukan di perjalanan yang masih tergolong awal ini. Kini bahkan saya bangga memberikan dukungan kepada seseorang yang tak pernah henti mempertanyakan (posisi) dirinya sendiri; tak pernah berhenti untuk merenungi langkah, tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang masih harus dijalani ke depan.

Namun, tampaknya Allah ingin lebih menegaskan saya, ingin membuat saya benar-benar paham dan yakin bahwa saya harus mendukung niat tersebut. Malamnya, jarang-jarang sebetulnya, saya memantengi chanel Netflix, menonton film, sesuatu yang sudah sangat jarang saya lakukan.

Sebuah film lama, produksi 2017, yang saya putar semata dengan niat ingin hiburan. Bukan jenis yang berat dan justru mengajak berpikir. Film yang saya asumsikan jenis ringan dan pasti penuh adegan pukul-pukulan itu berjudul ”Acts of Vengeance”.

Namun itulah, di dalamnya justru saya menemukan penguatan untuk mendukung niat Mas Anies tersebut. Di film yang dipenuhi adegan brutal tersebut, pembalasan dendam Frank Valera (diperankan Antonio Banderas) justru dibimbing sebuah buku lama yang ia temukan secara tak sengaja, “Meditation” karangan penganut filsafat stoikisme (stoa) di era akhir, Marcus Aurelius. Dari sekian banyak tebaran kuotasi para guru stoikisme di film tersebut, justru pengalaman Valera menyentak saya.

Dalam perjuangannya membalas dendam pembunuhan anak dan istrinya itu Valera bersumpah melakukan puasa kata-kata alias tidak bicara. Dan seiring peningkatan kemampuannya berkelahi karena ikut kursus beladiri campuran (MMA), puasa bicara membawa Valera pada kemampuan lebih: insting dan kemampuan pendengarannya meningkat tajam.

“Dalam beberapa hari setelah saya berhenti berbicara, indra pendengaran saya meningkat drastis. Kamu melihat? Hal-hal baik terjadi ketika kau menutup mulutnya selama satu atau dua menit!” kata Valera dalam narasi untuk menjelaskan dirinya.

Saya berharap puasa publisitas, meski hanya dua pekan saja, akan meningkatkan kemampuan Anies untuk mendengar. Tak hanya mendengar nuraninya yang bersih dalam jiwanya, melainkan juga jeritan rakyat. Yang terlontar, atau pun yang tersimpan dalam kebisuan, karena ketangguhan dan sikap sopan rakyat Indonesia. Aamiin.


Penulis : Widdi Aswindi, pengusaha, aktif di forum 'Teman Bicara' dan 'Bawa Ide'

 

 

 

(Nanda Aria)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya