"Kemudian dengan pisau terhunus satu demi satu para pemain dicengkram tubuhnya dan kemudian disobek mulutnya dengan pisau," tutur Soeprapto, mantan pimpinan Ansor Tajinan Malang dalam buku "Banser Berjihad Menumpas PKI".
Begitu juga di Desa Krenceng, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar. Pada 14 Oktober 1964, pentas ludruk Lekra yang mementaskan lakon "Lahire Gusti ", terpaksa digagalkan pemuda Ansor yang marah.
Selain untuk memviralkan kerja-kerja para kadernya. PKI juga memakai kekuatan media massa untuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Sejak awal Sekjen CC PKI Njoto mengedepankan konsep pentingnya relasi antara massa rakyat dengan pers. Media massa betul-betul ditempatkan sebagai alat agitasi dan propaganda partai. Karenanya PKI juga melakukan politik infiltrasi pada media massa.
Gaya jurnalisme media massa PKI selalu agitatif, dengan kalimat sloganisme yang kasar. Kata "Ganyang", "Kabir" (Kapitalis Birokrat), "Setan Desa", "Setan Kota", "Offensif Revolusioner", dan "Kontra-Revolusi", familiar dipakai. Menurut Amak Syariffudin," suatu ciri jurnalisme mereka (PKI) ialah melakukan penggiringan dengan membentuk opini publik untuk kepentingan PKI".
(Rahman Asmardika)