Namun terdapat seruan dari para ahli kesehatan masyarakat di negara ini untuk menjadikan demam berdarah sebagai prioritas dan fokus pada tindakan pencegahan. Termasuk deteksi dini dan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai. Seperti diketahui, infeksi demam berdarah yang berulang dapat menjadi lebih serius dan bahkan mematikan.
Seruan untuk bertindak tidak hanya terbatas pada Bangladesh. Ketika bumi memanas dengan cepat akibat pembakaran bahan bakar fosil, wabah penyakit akan menjadi lebih umum terjadi di wilayah-wilayah baru di dunia.
Menurut WHO, jumlah kasus demam berdarah global telah meningkat delapan kali lipat dalam dua dekade terakhir.
Ketika krisis iklim memburuk, penyakit-penyakit yang dibawa oleh nyamuk seperti demam berdarah, Zika, chikungunya dan demam kuning kemungkinan akan semakin menyebar dan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap kesehatan manusia.
Pada tahun ini, demam berdarah telah melanda Amerika Selatan dengan parah dan Peru sedang berjuang melawan wabah terburuk yang pernah tercatat. Kasus-kasus di Florida mendorong pihak berwenang untuk menyiagakan beberapa wilayah. Di Asia, lonjakan kasus telah terjadi di Sri Lanka, Thailand, Malaysia, dan negara-negara lain. Dan negara-negara di Afrika sub-Sarahan, seperti Chad, juga telah melaporkan wabah ini.
Direktur Peringatan dan Respons WHO, Abdi Mahamud, menyebut wabah ini sebagai “kenari di tambang batu bara krisis iklim”.
Dia juga mengatakan semakin banyak negara yang mengalami beban berat akibat penyakit-penyakit ini.
(Susi Susanti)