KABUL – Taliban telah mengambil alih kekuasaan “kembali” di Afghanistan pada Agustus 2021, setelah pemerintahan mereka yang kejam dan otoriter pada 1996 hingga 2001.
Berdasarkan laporan United States Institute of Peace (USIP), dalam beberapa minggu setelah pengambilalihan negara, Taliban membentuk struktur pemerintahan sementara dan membubarkan Kementerian Urusan Perempuan dalam pemerintahannya.
Ketakutan para perempuan di Afghanistan muncul kembali saat Taliban mengembalikan kebijakan yang merampas hak-hak perempuan atas akses pendidikan, pekerjaan, dan ruang publik.
Perampasan hak-hak perempuan merupakan salah satu dari sekian banyak alasan lainnya yang menyebabkan pemerintahan Taliban tidak mendapat pengakuan dari pemerintah internasional. Kini hal tersebut kembali terulang dan menyebarkan ketakutan serta kecemasan di antara para perempuan Afghanistan.
Berikut ini adalah beberapa kontroversi yang dilakukan Taliban sehingga pemerintahannya di Afghanistan tidak diakui oleh sebagian besar pemerintah internasional.
1. Pelanggaran hak-hak dasar perempuan
Taliban mengklaim bahwa mereka berusaha untuk memastikan sebuah masyarakat di mana perempuan memiliki peran yang aman dan bermartabat. Akan tetapi, fakta menunjukkan hal yang sebaliknya.
Sejak berkuasa pada 1996, Taliban telah merenggut hak-hak perempuan, terutama dalam hal pendidikan dan mendapat pekerjaan dan menghidupi keluarganya. Mereka juga tidak mendapatkan perawatan kesehatan dasar.
Salah satu alasan utama mengapa pemerintahan Taliban di Afghanistan tidak diakui oleh sebagian besar pemerintah dunia adalah dekritnya pada Desember 2022 yang melarang perempuan bekerja untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Afghanistan.
Padahal, LSM-LSM yang bekerja sama dengan PPB tersebut telah membantu warga sipil mereka menghadapi krisis pangan negara mereka, sebagaimana dilaporkan oleh Brookings.
2. Pembatasan akses pendidikan modern
Ilmu pengetahuan dan beragam jenis pendidikan sebelumnya sangat dihargai di Afghanistan. Bahkan, Universitas Kabul di Afghanistan banyak menarik mahasiswa dari Asia dan Timur Tengah.
Namun, sejak Taliban berkuasa, kelompok ini membatasi akses terhadap pendidikan modern, melarang pendidikan bagi perempuan, dan mengancurkan setengah dari semua sekolah di sana, kecuali sekolah Islam.
Dikutip dari Human Rights Watch, Taliban juga melakukan serangkaian kekerasan terhadap para guru dan siswa, serta mengancam orang tua mereka.
Selama kelompok ini berkuasa, dapat dikatakan sebanyak 9 dari 10 anak perempuan dan 2 dari 3 anak laki-laki di Afghanistan tidak bersekolah.
Pada 2000, tidak sampai lima persen dari keseluruhan anak di Afghanistan yang menempuh pendidikan di tingkat sekolah dasar. Bahkan, lebih sedikit lagi yang mencapai sekolah menengah dan universitas.
3. Pemusnahan budaya-budaya di Afghanistan
Afghanistan merupakan negara yang kaya akan budaya musik, di mana musik memainkan peran kunci dalam fungsi-fungsi sosial dan menyatukan keragaman etnis di negara tersebut.
Namun, ketika Taliban mengambil alih kekuasaan, budaya musik dilarang termasuk musik-musik daerah. Tidak sampai di situ, kelompok ini juga menyerang dan membunuh sejumlah musisi. Larangan ini terus berlanjut meskipun Taliban telah digulingkan pada 2001.
Pada awal 1990, kelompok ini menyerang dan bahkan menjarah Museum Nasional Afghanistan berkali-kali. Akibatnya, sekitar 70% dari 100.000 artefak budaya dan sejarah Afghanistan musnah.
Taliban juga telah menghancurkan teks-teks, artefak, budaya, dan patung-patung bersejarah bagi rakyat Afghanistan.
BACA JUGA:
4. Kekerasan terhadap warga sipil
Selama kekuasaan Taliban (1996-2001), telah terjadi kurang lebih 15 pembantaian massal yang dilakukan kelompok ini terhadap warga sipil, sebagaimana yang telah dilaporkan PBB.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga melaporkan pada tahun 2009-2011 bahwa Taliban dan sekutunya bertanggung jawab atas 76% korban sipil di Afghanistan pada tahun 2009, 75% pada tahun 2010, dan 80% pada 2011.
Menurut laporan Human Rights Watch, serangkaian serangan bom yang diluncurkan Taliban menewaskan sedikitnya 669 warga sipil. Angka korban sipil bahkan meningkat tajam di tahun 2006.
5. Perdagangan manusia
Salah satu kontroversi Taliban yang membuatnya tidak pernah diakui oleh dunia adalah ketika beberapa pimpinan mereka menjalankan jaringan perdagangan manusia.
Mereka menculik perempuan yang berasal dari etnis minoritas dan menjual perempuan-perempuan tersebut untuk dijadikan budak seks di Afghanistan dan Pakistan.
Dilansir dari Times Magazine, klaim Taliban yang mengatakan bahwa pembatasan hak-hak dasar perempuan adalah cara mereka untuk melindungi dan menjaga kehormatan perempuan menjadi boomerang bagi kelompok ini.
Sebagian besar korban berasal dari suku Tajik, Uzbek, Hazara, dan suku-suku non-Pashtun lainnya di Afghanistan. Beberapa dari mereka yang terjerat dalam perdagangan manusia lebih memilih untuk bunuh diri daripada menjadi budak, sehingga angka kematian perempuan di negara tersebut tidaklah kecil.
(Rahman Asmardika)