MYANMAR - Rohingya merupakan komunitas Muslim minoritas di Negara Bagian Rakhine (Arakan), Myanmar (Burma). Mereka diusir ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh dan negara lain.
Mengutip Wikipedia, Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran kolonial Inggris dan pascakolonial dari Chittagong di Bangladesh. Selain itu, pemerintah tidak mengakui istilah 'Rohingya' dan menyebutnya sebagai etnis Benggala.
Seorang sejarawan, Khalilur Rahman, mengatakan 'Rohingya' berasal dari bahasa Arab, 'Rahma' yang berarti pengampunan. Sejarawan itu menelusuri peristiwa kapal Arab yang terdampar di Pulau Ramree pada abad ke-8.
Pada saat itu para pedagang keturunan Arab terancam hukuman mati oleh Raja Arakan. Mereka berteriak 'Rahma' dan penduduk Arakan kesulitan menyebut kata tersebut. Kata tersebut berubah menjadi 'Rorang' dan akhirnya menjadi 'Rohingya'.
Sejarah tersebut ditepis mantan Presiden dan Sekretaris Konferensi Muslim Arakan, Jahiruddin Ahmed dan Nazir Ahmed. Kapal yang terdampar di Ramree adalah milik warga Rohingya yang sesungguhnya, yang merupakan keturunan Afghanistan yang tinggal di Ruha.
Mengutip sumber lain, istilah modern Rohingya muncul dari istilah kolonial dan pra-kolonial Rooinga dan Rwangya. Mereka dikenal sebagai rui hang gya dalam bahasa Burma. Sedangkan mereka disebut Rohingga dalam basa Bengali.
Penggunaan istilah Rohingya berasal dari Rakhanga atau Roshanga, untuk negara bagian Arakan yang kemudian bermakna "Penduduk Rohang" nama Muslim Awal Untuk Arakan.
British Raj telah mendokumentasikan istilah Rohingya. Di antara kelompok penduduk asli Arakan, Muhammedans yang menetap lama di Arakan menyebut dirinya Rooinga atau penduduk asli Arakan.
Seorang teolog dan sarjana Alkitab, Johann Severin Vater, mencantumkan "Ruinga" sebagai kelompok etnis dengan bahasa yang berbeda, dalam ringkasan yang diterbitkan dalam bahasa Jerman.
Rohingya disebut sebagai "orang Chittagonian" selama masa kolonial Inggris. Menurut ahli sejarah, Jacques Leider, sebutan "Orang Bengali" bukanlah hal kontroversi pada masa itu.
Seorang antropolog, Christina Fink, menggunakan istilah Rohingya sebagai tanda politik. Diyakini bahwa Rohingya adalah gerakan politik tahun 1950an untuk menciptakan Zona Muslim Otonom di Rakhine.
Istilah Rohingya digunakan oleh Perdana Menteri U Nu dalam pidato radio ketika Burma menjadi negara demokrasi pada 1948 hingga 1962. Pidatonya menjadi bagian dari upaya pembangunan perdamaian di Wilayah Perbatasan Mayu.
Menyebut laporan pihak UNHCR, Operasi Raja Naga menyebabkan sebagian warga mengungsi, yang dijuluki sebagai "Muslim Bengali". Istilah Rohingya baru dipergunakan secara umum pada 1990an.
Hingga saat ini pemerintah Myanmar menolak keberadaan Rohingya, dan memaksa mereka untuk mengidentifikasikan diri sebagai Bengali. Akibatnya hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka tidak dipenuhi.
(Susi Susanti)