“Chattra itu melambangkan kesatuan unsur, sehingga secara spiritual akan memberikan penguatan dan juga pengembangan keyakinan bagi umat Buddha. Dari sisi spiritualitas pemasangan chattra jelas akan menambah kesempurnaan dari Candi Borobudur. Kami dari agamawan dan para biksu sangat mendukung sekali pemasangan chattra kembali,” ujar Bhante.
Bhante Ditthisampanno mendorong agar Borobudur terus dikembangkan dari aspek kemanfaatan. Tak sebatas untuk peningkatan nilai spiritual, pengembangan candi terbesar di dunia ini juga bisa dilakukan pada sisi lain, utamanya pariwisata dunia. Upaya ini diyakini tidak sulit karena pemerintah juga memiliki kebijakan yang searah yakni menjadikan Candi Borobudur sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).
Anu Mahanayaka Sangha Agung Indonesia, Biksu Bhadra Ruci juga menilai Candi Borobudur sebagai sebuah mandala tak akan terpisahkan dari elemen chattra atau payung mulia. Dari aspek tantra, chattra akan selalu ditemukan dalam praktik harian persembahan mandala seorang praktisi buddhis. Dalam praktik meditasi mandala tantra, ornamen chattra pun selalu hadir dalam visualisasi.
Keberadaannya tak sekadar menjadi hiasan belaka namun mengandung makna dan fungsi spiritualitas tertentu. Ini sebagaimana dinyatakan dalam Arya Manggala Kuta Nama Mahayana Sutra, “Karena kepala Buddha adalah payung pelindung yang jaya.” Dengan demikian jelas bahwa ketiadaan chattra ibarat tubuh tak berkepala.
Stanley Khu, Dosen Antropologi Universitas Diponegoro berpandangan, pemasangan chattra di tidak hanya penting dari perspektif filosofis atau arkeologis belaka. Pemasangan ini juga memengaruhi tata-cara keagamaan umat Buddha di Indonesia, khususnya generasi muda.
“Dengan kata lain, dipasang atau tidaknya chattra adalah juga persoalan mengenai bagaimana generasi Buddhis saat ini dan yang akan datang memaknai posisi Borobudur dalam imajinasi keagamaan dan proyek etis mereka,” katanya.
Menurut Stanley, chattra akan menjadikan Borobudur sebagai ruang hidup yang dapat dimasuki umat Buddhis dalam sebuah dialog spiritual antara diri dan potensi kebuddhaan. Dengan perantara chattra, stupa tidak lagi sekadar berupa tumpukan batu biasa, namun dapat pula dibayangkan sebagai perlambang batin Buddha yang senantiasa hadir bersama umat dalam upaya sadar dan bertahap untuk menapaki jalan pencerahan.