Gus Yahya melihat, hak istimewa tersebut memungkinkan anggota tetap DK PBB menggunakan hak veto untuk melindungi kepentingan nasional atau sekutu mereka, bahkan jika hal tersebut bertentangan dengan konsensus internasional.
“Dan juga memungkinkan terjadinya pelanggaran aturan oleh pihak-pihak yang terus mengejar tujuan mereka melalui upaya ekonomi, militer, dan kekuatan politik yang melanggar Piagam PBB dan UDHR,” kata Gus Yahya.
Gus Yahya mencatat peran besar negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, dalam membentuk tatanan internasional pascaperang. Ia menilai, kekuatan ekonomi, militer, dan politik negara-negara Barat menjadi pilar utama dalam mendukung tatanan tersebut.
Namun, ia menyebut bahwa dunia kini mengalami pergeseran ke arah multi-kutub, di mana kekuatan Barat mengalami kemunduran.
“Namun, ketika negara-negara lain memanfaatkan peluang yang diberikan oleh keterbukaan, keamanan, dan stabilitas sistem internasional pascaperang, kekuatan Barat yang tadinya hegemonik kini mengalami kemunduran, dan dunia multi-kutub pun mulai muncul,” paparnya.
Hal ini dianggapnya sebagai momen berbahaya dalam sejarah dunia, terutama karena adanya potensi penyalahgunaan kekuatan politik dan militer.
“Di tengah dunia yang semakin multi-kutub, kekuatan Barat dan budaya Barat saja tidak cukup untuk mempertahankan, apalagi menguatkan dan meningkatkan, tatanan internasional berbasis aturan yang didedikasikan untuk menjaga kedaulatan nasional dan hak asasi manusia,” jelas dia.
“Yang menjadikan situasi ini semakin berbahaya adalah penyalahgunaan kekuatan politik, militer, dan budaya Barat untuk menerapkan standar ganda, sambil mengklaim menegakkan konsensus internasional pascaperang, sehingga melemahkan kredibilitas Barat di mata negara-negara Global South,” terangnya.
Meskipun demikian, Gus Yahya meyakini bahwa masih ada harapan untuk mengatasi tantangan tersebut. Ia memandang bahwa kerja sama antarumat manusia dari berbagai agama dan negara dapat menjadi langkah penting dalam mengatasi tantangan global.
(Awaludin)