Ia kemudian bergabung pada pasukan Raden Sosrodilogo di Jipang - Rajekwesi, yang kini Bojonegoro antara November 1827 dan Maret 1828. Ketika menyerah pada bulan Oktober 1828 dicatat bahwa ia bersama sisa keluarganya yang lain mencukur habis rambutnya sebagai tanda kesetiaannya pada perang suci.
Perjuangan Raden Ayu Yudokusumo memunculkan semangat kaum perempuan lain mengangkat senjata. Di Ngawi dan pos cukai terdekat di Kudur Brubuh, Bengawan Solo, seorang perempuan peranakan Jawa Tionghoa berperan penting membentuk pasukan keamanan mempertahankan tanah mereka, menyusul manuver Raden Ayu Yudokusumo.
Para perempuan lain di desa-desa sekitar Yogyakarta juga dilaporkan menyiapkan bubuk mesiu. Bahkan perempuan - perempuan ini juga membawa barang berharga ke medan perang, dengan mengenakan seragam tempur seperti halnya kaum pria.
(Fakhrizal Fakhri )