PEMINDAHAN istana dan ibu kota kerajaan besar-besaran dilakukan semasa Sultan Amangkurat I bertahta di Mataram. Sang raja bahkan sampai memerintahkan pejabat dan masyarakatnya bekerja bakti menyelesaikan pembangunan istana dan kompleks wilayah ibu kota di Plered.
Sang Sultan bahkan memerintahkan membakar banyak batu bata demi mencukupi bahan baku pembuatan istana. Hal ini belajar dari sejarah keraton lama yang dianggap kurang kokoh, karena hanya terbuat dari kayu.
Karena terlalu banyaknya kebutuhan pekerja, Sultan Amangkurat I sampai harus turun tangan langsung dan mengerahkan pejabat istana. Tak ayal, penolakan sempat datang dari beberapa pejabat untuk bekerja langsung membantu pembangunan istana.
Tapi sanksi langsung diberikan oleh sang penguasa bila sang pejabat tidak memenuhi permintaannya. Sang pejabat tinggi itu langsung diikat dan dibaringkan di paseban, dijemur dalam panas terik matahari, dikutip dari buku "Disintegrasi Mataram : Di bawah Mangkurat I", dari H. J. De Graaf.
Dikisahkan suatu utusan Belanda, istana Plered di selatan menghadap ke arah Sungai Opak. Di sana terdapat pintu gerbang selatan yang membatasinya dengan Sungai Opak. Kemudian tampak pada peta kecil itu bahwa bentuk dalem bukanlah benar-benar persegi, tetapi seperti belah ketupat.
Sedangkan kedua lapangan dalam, yaitu Kemandungan dan Srimenganti, yang harus dilalui sebelum tiba di Prabayeksa atau Istana raja itu sendiri, berada di dalam tembok keliling. Tapi sang utusan Belanda Jan Vos ketika berkunjung ke Kerta hanya dapat melihat Srimenganti, maka antara lapangan dalam ini dan alun-alun masih disisipkan lagi Kemandungan.