Tenda yang digunakan sebagai tempat berlindung di rumah sakit berubah menjadi peti mati pada hari Senin. Hal itu terjadi ketika rumah sakit itu dibom Israel. Ini membuat menjebak Shaban dan kerabatnya dalam kobaran api.
Ayahnya, Ahmad al-Dalou, yang mengalami luka bakar parah, mengatakan dampak serangan itu mendorongnya keluar dari tenda. Ia segera menyadari bahwa api telah membakar anak-anaknya. Ia berhasil menyelamatkan dua dari mereka.
“Setelah itu, api telah membakar semuanya. Saya tidak dapat menyelamatkan siapa pun,” katanya kepada Al Jazeera.
“Saya melakukan apa yang saya bisa.”
Ahmad mengatakan, Shaban berharap bisa kuliah di luar negeri untuk menjadi dokter, tetapi ia ingin anaknya tetap dekat dengan rumah.
"Sekarang, saya berharap saya telah mengirimnya," katanya.
Shaban adalah anak yang rajin belajar dan telah menghafal seluruh Al-Quran. Bahkan selama perang, Ahmad menambahkan, Shaban sering mengeluarkan laptopnya untuk belajar.
"Ia sangat mencintai ibunya," kata Ahmad.
"Sekarang, ia telah menjadi martir di pelukan ibunya. Kami mengubur mereka dalam pelukan satu sama lain," ucap Ahmad.
Serangan yang menewaskan Shaban dan kerabatnya menghancurkan kamp darurat yang didirikan oleh orang-orang yang mengungsi di halaman rumah sakit. Serangan itu sedikitnya melukai 40 orang.
"Saya melihat keluar dan melihat api melahap tenda-tenda di sebelah tenda kami," kata Madi (37), seorang ibu enam anak mengatakan kepada Al Jazeera dari sisa-sisa tendanya yang hangus.
"Suami saya dan saya menggendong anak-anak dan berlari menuju gedung darurat."
"Orang-orang - wanita, pria, dan anak-anak - berlarian menjauh dari api yang menyebar, sambil berteriak," tambahnya.
“Beberapa dari mereka masih terbakar, tubuh mereka terbakar saat mereka berlari.”