SPECIAL REPORT: Partisipasi Pilkada 2024 Menurun, Tanda Masyarakat Jenuh Coblosan?

Arief Setyadi , Jurnalis
Sabtu 07 Desember 2024 14:16 WIB
Pilkada 2024 yang digelar serentak mengalami penurunan dari sisi jumlah partisipasi.
Share :

“Kalau teorinya kan macam-macam yah, sudahlah percayakan kepada yang memilih. Tapi ada juga teori yang mengatakan untuk apa memilih paling yang terpilih begitu begitu juga,” kata Mahfud dalam podcast Terus Terang yang ditayangkan di kanal youtube Mahfud MD Official.

“Ada juga mungkin meskipun kecil ah untuk apa juga curang-curang juga hasilnya bukan kita yang menentukan, gitu kan? Itu bisa saja, bisa macam-macam, tinggal disurvei berapa orang yang berpendapat seperti itu,” imbuhnya.

Secara prosedural, diakui Mahfud, memang lebih sukses dibanding Pilkada sebelumnya. Lain hal dengan substansial yang belum memuaskan, seperti menurunnya angka partisipasi pemilih. “Angka partisipasi sekarang ini turun menjadi hanya 68 koma sekian persen. Padahal dulu pilkada di tahun 2020 itu mencapai 76 persen,” sebutnya.

Padahal, Pilkada serentak 2020 digelar pada masa pandemi Covid-19. Kala itu banyak penolakan penyelenggaraan karena khawatir Covid-19 semakin mewabah. Pihaknya berhasil membuktikan, angka korban pandemi bisa ditekan sementara jumlah partisipasi pemilih tetap tinggi.

Tapi ternyata di daerah-daerah Pilkada enggak ada korban jiwa, yang banyak korban jiwa justru di wilayah-wilayah yang enggak ada Pilkada waktu itu. Karena waktu itu, lanjut Mahfud, setiap minggu saya dan Pak Tito (Mendagri Tito Karnavian, red) selalu bicara dengan kepala daerah, Kapolda, Kapolres, Dandim, Pangdam dan sebagainya supaya dijaga betul.

Pengamat politik Adi Prayitno justru mempertanyakan legitimasi pemenang Pilkada jika tingkat partisipasi pemilihnya sangat rendah. Ia mengambil contoh di Jakarta, hanya 57,2 persen partisipasi pemilihnya berdasarkan Quick Count Parameter Politik Indonesia. "Itu sangat rendah," katanya.

Ada sejumlah faktor yang menurutnya menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih. Sama seperti Bima Arya, ia menyebut salah satunya jenuh karena baru saja memilih presiden, wakil presiden, dan anggota DPR.

Kemudian, masyarakat masih diliputi rasa kecewa dengan para pemimpinnya. Misal, masalah fundamental di Jakarta tidak kunjung tuntas meski sudah berkali-kali ganti pemimpin.

"Silih berganti gubernur. Tapi, persoalan krusial seperti banjir dan macet termasuk soal akses terhadap pekerjaan belum tuntas," imbuhnya. 

Faktor lainnya karena kurang sosialisasi dari penyelenggara Pilkada. Padahal, anggaran yang dikeluarkan untuk hajatan demokrasi. 
 

(Maruf El Rumi)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya