JAKARTA - Gagasan Riviera Timur Tengah merupakan sebuah proyek ambisius untuk mengubah Jalur Gaza menjadi pusat pariwisata mewah. Gagasan Riviera Timur Tengah pertama kali dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang mengklaim bahwa proyek ini akan membawa perdamaian dan kemakmuran bagi wilayah tersebut.
“Kami akan memilikinya dan bertanggung jawab untuk membongkar semua bom berbahaya yang tidak meledak dan senjata lainnya di sana,” kata Trump kepada kepada wartawan saat mengumumkan rencananya dalam konferensi pers di Gedung Putih dengan Perdana Menteri israel Benjamin Netanyahu.
Washington akan “meratakan” bangunan yang hancur dan “menciptakan pembangunan ekonomi yang akan menyediakan pekerjaan dan perumahan tanpa batas bagi penduduk di daerah tersebut”, tambahnya.
Riviera berasal dari bahasa Italia yang berarti "pantai" atau "tepi laut". Hal ini sejalan dengan gagasan Riviera Timur Tengah Trump yang secara potensi Riviera Timur Tengah memang memiliki daya tarik yang kuat. Gaza memiliki garis pantai yang panjang dan indah, iklimnya hangat sepanjang tahun, dan memiliki nilai sejarah serta budaya yang kaya.
Jika proyek ini berhasil diwujudkan, bukan tidak mungkin Gaza akan menjadi destinasi wisata yang populer seperti Sharm el-Sheikh di Mesir atau Dubai di Uni Emirat Arab.
Gagasan Trump ini memicu kontroversi dan kritik keras dari banyak pihak, yang tidak hanya meragukan kelayakan dari proyek ini, tetapi juga dari sisi moralitas dan kemanusiaan. Selain kondisi politik dan keamanan di Jalur Gaza yang tidak stabil, proyek ini juga direncanakan dengan memindahkan paksa jutaan warga Palestina dari tanah kelahiran mereka, yang sama dengan melakukan pembersihan etnis di Gaza.
Setelah Trump mengumumkan rencana ini, penolakan dan kecaman langsung berdatangan. Tak hanya dari rival AS seperti Rusia dan China, tetapi juga dari sekutu Washington di kawasan seperti Arab Saudi, Yordania, dan Mesir.