SOLO – Kuliner legendaris Rumah Makan Ayam Goreng Widuran, Solo, Jawa Tengah ditutup sementara menyusul penggunaan minyak babi tanpa adanya label non-halal. Peristiwa ini menuai sorotan karena menyangkut kejujuran dan kepercayaan konsumen yang diabaikan.
Tokoh masyarakat Solo Raya, Henry Indraguna, menyatakan keprihatinannya atas kejadian ini, meski pada akhirnya label tersebut baru dipasang. Kepercayaan publik yang dibangun selama bertahun-tahun runtuh karena kurangnya kejujuran pengelola.
"Bayangkan, selama puluhan tahun, berapa jumlah penikmat ayam goreng itu. Mereka sama sekali tidak tahu, ternyata ayam goreng kampung yang lezat disantap konsumen bercampur minyak babi di kremesannya. Ini bukan cuma soal halal atau tidak," ujarnya, Rabu (28/5/2025).
"Keputusan Pak Wali Kota Respati tepat untuk meredakan situasi. Tapi, kita butuh langkah lebih jauh agar kasus seperti ini tidak terulang," ujar Henry yang juga pakar hukum.
Henry menyampaikan perlunya edukasi menyeluruh kepada pelaku UMKM dan UKM agar memahami pentingnya keterbukaan dalam bahan baku serta proses produksi, khususnya yang mengarah pada label halal.
Ia menekankan, setiap pelaku usaha wajib memahami cara memperoleh sertifikat halal yang sah dan legal dari lembaga yang berwenang, bukan sekadar menempelkan klaim halal tanpa proses resmi.
"Ini soal membangun kepercayaan konsumen, bukan sekadar syarat memenuhi regulasi belajar belaka. Kepercayaan memegang peranan penting atas produk maupun jasa yang dihasilkan produsen sehingga tidak merugikan masyarakat luas yang menjadi konsumennya,” ujarnya.
Menurutnya, partai politik juga bisa mengambil ambil bagian dalam proses edukasi publik ini. Misalnya, dengan menyediakan pelatihan gratis dan pendampingan bagi pelaku usaha agar bisa memenuhi standar halal tanpa terbebani biaya tinggi.
Ia juga mengajak warga Solo Raya untuk menjadikan kejadian ini sebagai peringatan, agar ke depan konsumen lebih waspada dan pelaku usaha lebih jujur.
"Kita bisa belajar dari skandal daging kuda di Eropa pada tahun 2013. Saat itu, daging kuda ditemukan dalam produk berlabel daging sapi di supermarket Inggris. Konsumen merasa dibohongi, dan itu memicu reformasi pelabelan makanan secara progresif di sana," katanya.
Kunci dari pelayanan publik yang baik, kata Henry, harus dilandasi kejujuran. Baik halal maupun non-halal, konsumen berhak mendapat informasi yang jujur dan transparan.
“Seperti kata Diogenes Laertios yang mengatakan bahwa kebohongan adalah penyakit jiwa, dan kejujuran adalah obatnya. Jadi kita bisa mengobati kekecewaan masyarakat dengan kejujuran," tuturnya.
Jika terbukti rumah makan tersebut sengaja menyamarkan produk tidak halal seolah-olah halal, maka dapat dikategorikan sebagai penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP.
Selain itu, dari aspek hukum perlindungan konsumen, pemilik usaha juga bisa dijerat dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terutama Pasal 8 Ayat (1) huruf f, yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan.
(Arief Setyadi )