Raja ke-10 Mataram Kuno yakni Mpu Daksa. Ia naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini didasari pada bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung pada beberapa prasasti.
Rakai Layang Dyah Tulodong, naik takhta menjadi raja ke-11 menggantikan Mpu Daksa. Pada Prasasti Ritihang yang dikeluarkan Mpu Daksa, terdapat tokoh Rakryan Layang, namun nama aslinya tidak terbaca. Identifikasi dari ciri-cirinya diketahui sosok Rakryan Layang merupakan seorang perempuan.
Diduga kuat Rakryan Layang ini merupakan anak dari Mpu Daksa yang kemudian menikahi seorang laki-laki bernama Dyah Tulodong. Ia pun mendapatkan gelar Rakai Layang, yang naik takhta menggantikan mertuanya Mpu Daksa.
Rakai Sumba Dyah Wawa menjadi raja berikutnya dari Kerajaan Mataram kuno. Ia naik takhta menjadi raja ke-12 didasari pada bukti sejarah Prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928. Namun, tak banyak sumber informasi mengenai Dyah Wawa saat memerintah di Kerajaan Mataram kuno.
Raja ke-13 Mataram kuno adalah Mpu Sindok. Di masa Mpu Sindok inilah pusat ibukota kerajaan berpindah ke Jawa Timur. Tercatat ini merupakan pemindahan keempat setelah pemindahan dari Medang, dipindahkan Rakai Pikatan ke Mamrati, berlanjut ke Poh Pitu, kemudian dikembalikan lagi ke Mataram atau Medang di masa Dyah Wawa. Lantas Mpu Sindok akhirnya memindahkan ibukota kerajaan ke Jawa Timur, karena adanya dugaan bencana alam gunung meletus dan adanya peperangan.
Sri Lokapala menjadi raja ke-14 dan merupakan menantu dari Mpu Sindok. Lokapala yang berasal dari Bali ini dinikahkan dengan anak Mpu Sindok Sri Isana Tunggawijaya. Peninggalan sejarah Sri Lokapala yakni Prasasti Gedangan pada 950 yang berisi anugerah Desa Bungur Lor dan Desa Ansana, kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba.