Soal Tom Lembong, Eks Hakim Sebut Kejagung Berwenang Usut Kasus Impor Gula

Arief Setyadi , Jurnalis
Rabu 23 Juli 2025 09:35 WIB
Tom Lembong (Foto: Nur Khabibi/Okezone)
Share :

JAKARTA — Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi impor gula. Namun, baik Kejagung maupun Tom Lembong mengajukan banding atas vonis tersebut.

Tom Lembong merasa tak bersalah atas tuduhan tersebut. Sementara Kejagung mengajukan banding mengingat vonis lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni 7 tahun penjara. Kasus impor gula yang menjerat Tom Lembong pun menuai sorotan banyak pihak.

Menurut mantan Hakim Mahkamah Agung (MA), Maruarar Siahaan, Kejagung berwenang memproses dugaan korupsi dalam kasus impor gula yang menyeret Tom Lembong. Namun, selama ditemukan indikasi pelanggaran hukum.

Kejagung tentunya memiliki dasar yang sah untuk menindak kasus yang dinilai melanggar ketentuan undang-undang. Namun, dalam proses penegakan hukumnya, ia menegaskan pengujian atas dakwaan tetap menjadi kewenangan hakim.

"Peradilan yang independen dan imparsial harus memperhatikan seluruh aspek. Kejaksaan bertindak atas dasar objektif yang subjektif, artinya melihat dari sudut penuntut umum. Tapi hakim itu melihat dari sudut objektif yang objektif yaitu tidak boleh memihak pada siapa pun,” ujar Maruarar dalam keterangannya, dikutip Rabu (23/7/2025).

 

Maruarar mengatakan, hakim tentunya bisa melihat dari sudut objektif jika independen, tidak ada tekanan, dan tidak ada pengarahan. Ia pun menyoroti pentingnya memahami tanggung jawab eksekutif dalam konteks kebijakan publik. 

Hakim harus mempertimbangkan jika ada kebijakan atau diskresi kebijakan yang dianggap bertentangan dengan undang undang, maka tanggung jawabnya adalah presiden.

"Jadi, tanggung jawabnya jangan digeser dari presiden sebagai pimpinan eksekutif, yang memberi mandat kepada menteri untuk menjalankan tugas yang dikelolanya,” ujarnya. 

Maruarar mencontohkan jika impor gula dianggap sebagai kebijakan negara, maka presiden memiliki kapasitas untuk mengoreksinya. Kalau tidak dikoreksi maka berarti kebijakan itu diterima, karena itu tanggung jawabnya adalah eksekutif secara keseluruhan.

Dalam setiap kebijakan, menurutnya, akan selalu ada potensi untuk menimbulkan dampak positif atau negatif bagi pihak tertentu. “Presiden tidak boleh mengatakan itu adalah kebijakan menteri karena menteri adalah pembantunya. Tidak mungkin menteri melakukan sebuah tindakan tanpa restu presiden,” imbuhnya.

 

Ia menilai pokok persoalan dalam kasus hukum Tom Lembong bukan hanya pada pelaksanaan impor, melainkan soal siapa yang seharusnya bertanggung jawab jika kebijakan tersebut ternyata dianggap menyalahi aturan.

"Kalau itu (soal impor gula) merupakan kebijakan pemerintah itu tanggung jawab siapa?” ujarnya. 

Jika saat itu memang ada larangan impor karena stok dalam negeri mencukupi, maka keputusan untuk tetap melakukan impor masuk dalam ranah diskresi yang secara prinsip berada di bawah kendali presiden.

"Penilaian seperti itu (diskresi) tunduk pada hukum administrasi negara, yang puncaknya adalah presiden. Kan tidak mungkin penilaian itu tidak dilaporkan (Tom Lembong) ke presiden. Jadi, kalau presiden tidak melakukan apa-apa tentu menjadi tanggung jawab presiden," katanya.

(Arief Setyadi )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya