MALANG – Malang merupakan daerah yang tak bisa dipisahkan dari perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Bahkan, pentingnya Kota Malang membuat proklamator kemerdekaan Republik Indonesia sempat singgah khusus di kota ini untuk meresmikan bangunan ikonik dan memberikan nama Bundaran Tugu Malang.
Bundaran Tugu menjadi bangunan ikonik yang memiliki sejarah panjang bagi Kota Malang. Bundaran yang terletak di tengah kota, di kompleks pusat pemerintahan, ternyata memiliki filosofi penempatannya.
Lokasi Bundaran Tugu yang tak jauh dari stasiun kereta api seolah menyambut pendatang atau wisatawan yang tiba di Kota Malang. Tak heran jika bundaran ini menjadi simbol dan ikon bagi warga Malang maupun mereka yang pernah menjejakkan kaki di kota ini.
Bangunannya yang diapit taman-taman dengan monumen Tugu di tengah menjadikan bundaran ini terlihat unik. Namun siapa sangka, Bundaran Tugu menyimpan sejumlah cerita panjang. Bentuk awalnya bukan seperti sekarang, melainkan hanya berupa lapangan kosong. Bundaran ini dulunya menjadi pusat dari bangunan perkantoran dan fasilitas lainnya yang ada di sekelilingnya saat Belanda masih berkuasa di Malang.
Sejarawan Malang, Rakai Hino Galeswangi, mengungkapkan bahwa bundaran di depan Balai Kota Malang merupakan bagian dari pembangunan kompleks perkantoran dan pemerintahan oleh Belanda. Bundaran ini dibangun berdasarkan bouwplan atau site plan pembangunan yang dimulai sejak tahun 1922.
“Dari situ bouwplan Belanda mulai menata tata ruang Kota Malang. Mereka membentuk bouwplan satu, dua, dan tiga. Mereka buat bundaran, tapi belum ada tugunya seperti sekarang,” kata Rakai Hino.
Nama lapangan bundar di depan Balai Kota Malang saat itu diberi nama Lapangan Jan Pieterszoon Coenplein alias JP Coen, diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Namun, karena bentuknya yang bundar, warga Malang lebih sering menyebutnya sebagai Alun-Alun Bunder atau Alun-Alun Bundar.
Menurut Rakai Hino, Belanda hanya membangun bundaran dengan air mancur untuk tempat rekreasi atau sekadar berkumpul bagi para ekspatriat Belanda. Apalagi, kompleks di sekitarnya memang merupakan kawasan tempat tinggal para pejabat atau petinggi pada zamannya.
“Jadi bouwplan dua ini membangun kawasan Tugu dan Balai Kota Malang. Awalnya tempat itu adalah kawasan para petinggi, makanya kelurahannya dinamakan Tumenggungan. Ada salah satu suluk silir yang menyebut 'Tumenggungan', dari kata ‘Tumenggung’ yang berarti para petinggi,” tuturnya.
Peperangan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1946–1949 menjadikan Kota Malang sebagai saksi sejarah penting dalam perjuangan melawan Belanda. Kala itu, demi mencegah pendudukan oleh Belanda, tentara pejuang melakukan strategi bumi hangus. Akibatnya, sejumlah bangunan seperti Balai Kota Malang, Gedung Sekolah HBS (AMS) yang kini menjadi SMA, kediaman panglima militer Belanda, Hotel Splendid, dan beberapa villa di pusat kota dibakar habis.
Barulah setelah Indonesia berhasil mengusir Belanda melalui Agresi Militer I dan II, pemerintah mulai perlahan membangun kembali bangunan-bangunan tersebut, termasuk Balai Kota Malang dan bundaran di depannya.
“Ketika Balai Kota didirikan kembali dan diresmikan oleh Bung Karno, bundaran di depannya kemudian diberi tugu. Jadi, tugu itu bukan sekadar ikon Kota Malang, melainkan simbol kemerdekaan Indonesia yang diletakkan di depan Balai Kota Malang,” pungkas Rakai Hino.
(Awaludin)