JAKARTA – Sekutu Eropa dan NATO Ukraina mendesak agar Presiden Volodymyr Zelensky diikutsertakan dalam pertemuan puncak Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang akan digelar di Alaska pekan ini. Kyiv dan sekutunya khawatir Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin akan mencoba mendikte persyaratan untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung selama 3,5 tahun ini tanpa persetujuan dari Ukraina.
Trump, yang selama berminggu-minggu mengancam sanksi baru terhadap Rusia karena gagal menghentikan perang, justru mengumumkan pada Jumat (8/8/2025) bahwa ia akan bertemu Putin pada 15 Agustus di Alaska.
Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan Trump terbuka untuk keikutsertaan Zelensky, tetapi persiapan yang sedang dilakukan hanya untuk pertemuan bilateral. Di sisi lain, Pemimpin Kremlin pekan lalu mengesampingkan kemungkinan bertemu Zelensky, dengan mengatakan bahwa kondisi untuk pertemuan semacam itu "sayangnya masih jauh" dari terpenuhi.
Trump mengatakan kesepakatan potensial akan melibatkan "pertukaran wilayah demi keuntungan kedua belah pihak", yang memperparah kekhawatiran Ukraina bahwa Ukraina mungkin menghadapi tekanan untuk menyerahkan wilayahnya.
Zelensky mengatakan keputusan apa pun yang diambil tanpa Ukraina akan "gagal" dan tidak dapat dilaksanakan. Pada Sabtu (9/8/2025), para pemimpin Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Polandia, Finlandia, dan Komisi Eropa menyatakan bahwa setiap solusi diplomatik harus melindungi kepentingan keamanan Ukraina dan Eropa.
"AS memiliki kekuatan untuk memaksa Rusia bernegosiasi secara serius," kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, sebagaimana dilansir Reuters. "Setiap kesepakatan antara AS dan Rusia harus melibatkan Ukraina dan Uni Eropa, karena ini adalah masalah keamanan Ukraina dan seluruh Eropa."
Para menteri luar negeri Uni Eropa akan bertemu pada Senin (11/8/2025) untuk membahas langkah selanjutnya, ujarnya.
Saat ini Rusia menguasai hampir seperlima wilayah Ukraina.
Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte mengatakan kesepakatan tersebut tidak dapat mencakup pengakuan hukum atas kendali Rusia atas wilayah Ukraina, meskipun mungkin mencakup pengakuan de facto. Ia membandingkannya dengan situasi setelah Perang Dunia Kedua ketika Washington menerima bahwa negara-negara Baltik, yaitu Latvia, Lituania, dan Estonia, secara de facto dikuasai oleh Uni Soviet, tetapi tidak mengakui aneksasi mereka secara hukum.
Seorang pejabat Eropa mengatakan Eropa telah mengajukan proposal balasan terhadap Trump, tetapi menolak memberikan detailnya. Para pejabat Rusia menuduh Eropa mencoba menggagalkan upaya Trump untuk mengakhiri perang.
"Orang-orang bodoh Eropa berusaha menghalangi upaya Amerika untuk membantu menyelesaikan konflik Ukraina," tulis mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev di media sosial pada Minggu (10/8/2025).
Selain Krimea, yang direbutnya pada 2014, Rusia secara resmi mengklaim wilayah Ukraina yaitu Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia sebagai wilayahnya, meskipun hanya menguasai sekitar 70% dari tiga wilayah terakhir. Rusia memiliki wilayah yang lebih kecil di tiga wilayah lainnya, sementara Ukraina mengklaim sebagian kecil wilayah Kursk milik Rusia.
Sergei Markov, seorang analis pro-Kremlin, mengatakan pertukaran wilayah dapat mengakibatkan Rusia menyerahkan 1.500 km persegi kepada Ukraina dan mendapatkan 7.000 km persegi, yang menurutnya akan tetap direbut Rusia dalam waktu sekitar enam bulan.
Dia tidak memberikan bukti apa pun untuk mendukung angka-angka tersebut. Rusia mengambil sekitar 500 km persegi wilayah pada bulan Juli, menurut analis militer Barat yang mengatakan bahwa kemajuan pesatnya telah mengorbankan banyak korban jiwa. Ukraina dan sekutu-sekutunya di Eropa telah dihantui selama berbulan-bulan oleh ketakutan bahwa Trump, yang ingin mengklaim penghargaan karena menciptakan perdamaian dan berharap untuk menyegel kesepakatan bisnis bersama yang menguntungkan antara AS dan Rusia, dapat bersekutu dengan Putin untuk membuat kesepakatan yang akan sangat merugikan Kyiv.
(Rahman Asmardika)