Gagasan pemerintah China mengenai “peremajaan nasional” kerap disoroti sebagai narasi pembangunan yang ambisius. Pertumbuhan ekonomi, penguatan militer, dan aktivitas diplomatik memang terlihat menonjol secara statistik, namun menurut sebagian pihak, hal tersebut belum sepenuhnya berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat sehari-hari. Tantangan seperti kenaikan biaya hidup, tingkat pengangguran, dan pembatasan kebebasan sipil masih menjadi isu domestik. Di sisi lain, pendekatan yang dinilai tegas dalam hubungan luar negeri juga dikaitkan dengan meningkatnya pembatasan visa, pengawasan imigrasi yang lebih ketat, dan tumbuhnya sentimen negatif terhadap China di sejumlah negara.
Fenomena yang dianggap ironis oleh sebagian pengamat adalah bahwa warga negara yang diyakinkan mengenai posisi kuat negaranya di dunia internasional justru terkadang menghadapi perlakuan kurang menguntungkan saat melintas di perbatasan negara lain. Fokus PKC pada pengelolaan citra dan pengendalian internal dinilai telah membentuk sistem yang lebih menonjolkan pencapaian simbolis daripada membangun rasa hormat yang mendalam. Apabila kemajuan suatu negara terutama ditopang oleh pembatasan informasi, tekanan politik, dan pengelolaan opini publik, maka tantangan dan konsekuensinya kerap dialami langsung oleh warganya.
Krisis paspor China bukan hanya tentang perjalanan, melainkan tentang kepercayaan, martabat, dan kegagalan pemerintahan. PKC perlu mempertimbangkan dampak dari kebijakan yang dijalankannya. Alokasi dana besar untuk upaya pengakuan diplomatik, penggunaan retorika yang tegas, serta penerapan pengawasan di dalam negeri, dinilai oleh sebagian pihak sebagai cara yang tidak efektif membangun reputasi atau kredibilitas di tingkat global. Pendekatan tersebut berpotensi menimbulkan kesan terisolasinya China di panggung internasional dan dapat memengaruhi persepsi terhadap warganya.